ilustrasi via liputan6 |
"Aceh itu kampung saya..."
BEGITU sepotong
kalimat yang dipajang pada sebuah baliho di perempatan jalan dekat sebuah
masjid di Banda Aceh. Baliho besar itu dominan warna merah. Ada gambar wajah
dua tokoh di sana. Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Nah, yang menarik
bagi saya tentu nama pertama; Joko Widodo. Sejak awal saya begitu yakin, orang pertama
yang ada nama depan Joko-nya tak saling terkait dengan Widodo sebelumnya.
Meski, mereka sama-sama punya nama serupa, tapi guratan tangan atau garis nasib
jelas berbeda.
Kenapa saya
tidak sebut Joko, dan lebih memilih nama keduanya; Widodo. Lazimnya mereka yang
bermukim di "Barat" --- mungkin karena saya tinggal di Provinsi
paling barat di Negeri ini--- terbiasa memanggil nama yang kedua. Contoh: Husni
Mubarak, kami panggilnya Mubarak. Kalau Barrack Obama, dipanggil tetap Obama,
Hasan Tiro di sana tak dipanggil Hasan, tapi Tiro. Begitulah seterusnya.
Nah, Widodo yang
kedua ini “toke kayu”. Dia pengusaha mebel yang kemudian “tergoda” terjun ke
politik. Karena itulah, maka dia kemudian menjadi Walikota Solo. Di Surakarta
dia adalah idola; sederhana, suka beranjangsana alias blusukan menemui rakyat.
Berhasil di
Solo, Widodo yang lebih popular dengan nama Jokowi ini menjadi gubernur, tapi
bukan gubernur di Jawa Tengah. Dia malah sukses menjadi Gubernur di Ibukota
Negara pula; Jakarta. Pasti ini perjalanan karier yang luar biasa. Setelah itu,
ternyata gebrakan politiknya belum selesai.
Jika di Solo
belum tuntas jabatan di periode kedua, maka saat memimpin warga Betawi, dia lebih
cepat naik pangkat lagi. Tugas di Jakarta belum tuntas, beban besar lain sudah
dipundak. Seperti kita tahu, kini Jokowi resmi menanjak dalam karir politiknya.
Dia sudah menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Meraih kursi
presiden bukan perkara mudah. Sulit bin susah. Bahkan ada politisi yang
berkali-kali ikut suksesi, hingga besok tak jadi-jadi. Lain dengan Jokowi,
sekali pasang diri, langsung melenggang ke Istana yang diimpikan semua pelakon
politik.
Ada yang
menarik sebenarnya bila kita merunut pada perjalanan nasib tokoh ini. Sebelumnya
Jokowi adalah pegawai kecil dan pengusaha, lalu menjadi walikota, kemudian
menjadi seorang gubernur hingga kemudian mencapai puncaknya di kursi Presiden.
Memang, sebelum
sebagai gubernur, dia sudah mahir memimpin rakyat di tingkat kabupaten atau
kota. Untuk duduk di kursi presiden, Jokowi tak perlu melangkahi dulu kursi
menteri, seperti presiden sebelumnya. Kariernya memang apik.
Melihat rekam
jejak di pemerintahan, timbul pertanyaan iseng saya; kira-kira dia dulu, Jokowi
pernah nggak jadi lurah sebelum menjadi camat dan kemudian duduk di kursi Walikota.
Jika iya, maka sempurnalah jenjang kariernya sebagai “birokrat” yang dimulai
dari bawah.
Barangkali,
jika kita tamsilkan dengan bahasa awam, dari kopral hingga jenderal sudah
dirasakannya. Semua bersyukur saat Joko Widodo yang sederhana itu menjadi orang
nomor wahid di negeri ini. Dia juga akan dicatat sebagai presiden yang punya
karir merangkak dari bawah. Kesederhanaanlah yang berbuah kemuliaan.
Mengomentari
nasib Jokowi, orang Aceh pasti bilang dia itu meutuah tuboh (mulia badan). Apalagi lelaki ini punya niat tulus
meski bertubuh kurus. Di sayangi semua orang, termasuk media dan wartawan. Tak
jarang dia dikultuskan bak pelatih sepakbola yang baru saja memenangi Piala
Dunia.
Begitulah
perlakuan banyak kalangan untuk pria yang kabarnya pernah berdinas di Aceh Tengah itu. Tapi kita
tak melihat bagaimana ekspresinya, saat tahu di "kampung" sendiri dia
kalah dalam "kanduri" Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu. Apakah dia
juga ikut kecewa seperti Widodo dari bukit Jabal Ghafur itu? Homhai.
Kalau pun
kecewa, tentu kita berharap jangan sampai tanoh Aceh ikut menerima imbas. Kita
pun berharap, jika terpaksa harus kecewa, jangan sampai membuatnya menganaktirikan
Aceh. Tentu kita berharap tak perlu ada airmata yang menetes menangisi Aceh.
Kita
barangkali ingin melihat ‘keringat’ Jokowi dalam bekerja membangun negeri ini,
tanpa melihat provinsi mana yang menjadi lumbung suaranya pada masa pemilihan
presiden dulu. Tugas beratnya adalah menata Indonesia dengan segala
kesumpekannya. Membangun Aceh dengan segala keanehan dan keunikannya. Sebab
dari kebhinnekaan itulah yang membuat cikal bakal Nusantara ini menjadi
Indonesia.
Bayangkan jika
Indonesia ini kita tamsilkan bak sebuah taman. Bila semuanya isinya adalah
bunga kamboja, suasana kuburanlah yang terasa. Namun, saat “taman” Indonesia
ini diisi dengan bungoeng Jeumpa, melati,
anggrek, bunga bangkai, sampai sedap malam, tentu lebih sedap dipandang mata. [a]