Rabu, 12 Oktober 2016

2 --- Joko Widodo


ilustrasi via liputan6

"Aceh itu kampung saya..."

BEGITU sepotong kalimat yang dipajang pada sebuah baliho di perempatan jalan dekat sebuah masjid di Banda Aceh. Baliho besar itu dominan warna merah. Ada gambar wajah dua tokoh di sana. Joko Widodo dan Jusuf Kalla. 

Nah, yang menarik bagi saya tentu nama pertama; Joko Widodo. Sejak awal saya begitu yakin, orang pertama yang ada nama depan Joko-nya tak saling terkait dengan Widodo sebelumnya. Meski, mereka sama-sama punya nama serupa, tapi guratan tangan atau garis nasib jelas berbeda.

Kenapa saya tidak sebut Joko, dan lebih memilih nama keduanya; Widodo. Lazimnya mereka yang bermukim di "Barat" --- mungkin karena saya tinggal di Provinsi paling barat di Negeri ini--- terbiasa memanggil nama yang kedua. Contoh: Husni Mubarak, kami panggilnya Mubarak. Kalau Barrack Obama, dipanggil tetap Obama, Hasan Tiro di sana tak dipanggil Hasan, tapi Tiro. Begitulah seterusnya.

Nah, Widodo yang kedua ini “toke kayu”. Dia pengusaha mebel yang kemudian “tergoda” terjun ke politik. Karena itulah, maka dia kemudian menjadi Walikota Solo. Di Surakarta dia adalah idola; sederhana, suka beranjangsana alias blusukan menemui rakyat. 

Berhasil di Solo, Widodo yang lebih popular dengan nama Jokowi ini menjadi gubernur, tapi bukan gubernur di Jawa Tengah. Dia malah sukses menjadi Gubernur di Ibukota Negara pula; Jakarta. Pasti ini perjalanan karier yang luar biasa. Setelah itu, ternyata gebrakan politiknya belum selesai.

Jika di Solo belum tuntas jabatan di periode kedua, maka saat memimpin warga Betawi, dia lebih cepat naik pangkat lagi. Tugas di Jakarta belum tuntas, beban besar lain sudah dipundak. Seperti kita tahu, kini Jokowi resmi menanjak dalam karir politiknya. Dia sudah menjadi orang nomor satu di negeri ini.  

Meraih kursi presiden bukan perkara mudah. Sulit bin susah. Bahkan ada politisi yang berkali-kali ikut suksesi, hingga besok tak jadi-jadi. Lain dengan Jokowi, sekali pasang diri, langsung melenggang ke Istana yang diimpikan semua pelakon politik.

Ada yang menarik sebenarnya bila kita merunut pada perjalanan nasib tokoh ini. Sebelumnya Jokowi adalah pegawai kecil dan pengusaha, lalu menjadi walikota, kemudian menjadi seorang gubernur hingga kemudian mencapai puncaknya di kursi Presiden. 

Memang, sebelum sebagai gubernur, dia sudah mahir memimpin rakyat di tingkat kabupaten atau kota. Untuk duduk di kursi presiden, Jokowi tak perlu melangkahi dulu kursi menteri, seperti presiden sebelumnya. Kariernya memang apik. 

Melihat rekam jejak di pemerintahan, timbul pertanyaan iseng saya; kira-kira dia dulu, Jokowi  pernah nggak jadi lurah sebelum menjadi camat dan kemudian duduk di kursi Walikota. Jika iya, maka sempurnalah jenjang kariernya sebagai “birokrat” yang dimulai dari bawah. 

Barangkali, jika kita tamsilkan dengan bahasa awam, dari kopral hingga jenderal sudah dirasakannya. Semua bersyukur saat Joko Widodo yang sederhana itu menjadi orang nomor wahid di negeri ini. Dia juga akan dicatat sebagai presiden yang punya karir merangkak dari bawah. Kesederhanaanlah yang berbuah kemuliaan. 

Mengomentari nasib Jokowi, orang Aceh pasti bilang dia itu meutuah tuboh (mulia badan). Apalagi lelaki ini punya niat tulus meski bertubuh kurus. Di sayangi semua orang, termasuk media dan wartawan. Tak jarang dia dikultuskan bak pelatih sepakbola yang baru saja memenangi Piala Dunia.

Begitulah perlakuan banyak kalangan untuk pria yang kabarnya  pernah berdinas di Aceh Tengah itu. Tapi kita tak melihat bagaimana ekspresinya, saat tahu di "kampung" sendiri dia kalah dalam "kanduri" Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu. Apakah dia juga ikut kecewa seperti Widodo dari bukit Jabal Ghafur itu? Homhai.

Kalau pun kecewa, tentu kita berharap jangan sampai tanoh Aceh ikut menerima imbas. Kita pun berharap, jika terpaksa harus kecewa, jangan sampai membuatnya menganaktirikan Aceh. Tentu kita berharap tak perlu ada airmata yang menetes menangisi Aceh. 

Kita barangkali ingin melihat ‘keringat’ Jokowi dalam bekerja membangun negeri ini, tanpa melihat provinsi mana yang menjadi lumbung suaranya pada masa pemilihan presiden dulu. Tugas beratnya adalah menata Indonesia dengan segala kesumpekannya. Membangun Aceh dengan segala keanehan dan keunikannya. Sebab dari kebhinnekaan itulah yang membuat cikal bakal Nusantara ini menjadi Indonesia. 

Bayangkan jika Indonesia ini kita tamsilkan bak sebuah taman. Bila semuanya isinya adalah bunga kamboja, suasana kuburanlah yang terasa. Namun, saat “taman” Indonesia ini diisi dengan bungoeng Jeumpa, melati, anggrek, bunga bangkai, sampai sedap malam, tentu lebih sedap dipandang mata. [a]

1 --- Widodo


ilustrasi via http://wpaperindonesia.blogspot.co.id

"Saya kecewa sekali melihat Aceh, tidak seperti yang aku bayangkan."

KALIMAT itu masih mengiang-ngiang di daun telinga saya. Gaungnya, serasa bak suara kawanan ribuan tawon yang terbang rendah mencari dahan buat bersarang. Padahal ucapan itu sudah belasan tahun lalu diucapkan seorang mahasiswa culun di atas bukit Gle Gapui, Pidie.   

Di bawah sebatang pohon rindang yang memayungi kami dari terik matahari, lelaki itu "bernyanyi". Segala kekecewaannya melihat Aceh dia tumpahkan ke arah saya. Terasa seperti sengatan sinar matahari yang membakar kulit. Panasnya seakan ikut pula membuat rumput kering.

Akhir-akhir ini, rudal memori saya selalu ke wajah dia. Meski nyaris 18 tahun silam. Saya masih ingat. Siang itu, tubuh kurusnya, ---untuk tidak menyebut kerempeng--- di balut baju berwarna putih, celana biru dongker, sepatu hitam. 

Rambat ikalnya tak awut-awutan. Rapi dan necis. Wajahnya terlihat putih, tapi tak seperti orang yang baru sembuh sakit malaria. Orang Aceh bilang basoe.

Kala itu, dia baru saja keluar dari salah satu ruangan di kampus Universitas Jabal Ghafur. Saya tak ingat lagi fakultasnya apa? Nyaris tak terekam di memory card kepala saya. Tapi yang paling tak bisa saya lupakan adalah, ya sebait kalimat pembuka di atas tadi.

Pria langsing itu mengaku kecewa berat melihat Aceh. Sebagai daerah yang dikaguminya, barangkali wajar bila dia kemudian “uring-uringan”. Lelaki itu adalah Widodo. Saya juga tak ingat lagi, Widodo itu nama pertama atau kedua. Jelas saya lupa berat nama lengkapnya, tapi yang paling gampang lengket diingatan ya, Widodo itu. 

Dari lakabnya, kita sudah bisa menerka dia berasal dari mana. Saya tak tahu apakah dia satu kampung dengan Widodo yang sekarang menjadi Presiden ketujuh di negeri ini atau tidak. Entahlah. Karena nama boleh sama, tapi peukateuen (kelakuan) tentu beda. 

Sebab, kala 1996 itu, sebelum memutuskan merantau ke Aceh, dia berharap di tanah Serambi Makkah, menemukan "kenyamanan" batiniyah. Dia ingin mengisi rohaninya dengan keluhuran ajaran Islam yang begitu kental di Aceh. Dia tahu, Aceh amat kental menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Persis seperti yang dia dengar dari kecil, tentang sejarah Aceh yang kesohor.

Widodo kecil kadung tahu, Aceh itu pintu masuknya Islam ke Nusantara. Dia ingin belajar dan "menyambut" langsung ajaran suci itu dari pintu masuknya. Namun, apalah daya, dia melihat Aceh kala itu tak sesuai lagi dengan yang terekam dalam memorinya; tentang daerah yang sudah terkikis nuansa religinya.

Sebelum menginjak kakinya di tanah rencong, mungkin dari hati kecilnya, Widodo berpikir --karena suasana kehidupan yang Islami itulah--- yang menuntun kakinya ke daerah istimewa. Melihat fakta itu, praktis membuat pikirannya penuh kecewa. 

Sebab Widodo tak menemukan Aceh seperti yang direkam sejak kecil. Nuansa Islam tak seperti empat abad silam. Kalau memplesetkan bait lagu si Tegar, --- pengemis kecil bersuara emas --- maka bunyinya jadi begini; Aceh yang dulu bukan Aceh yang sekarang! Begitulah. 

Usai menumpahkan uneg-unegnya, Widodo pun pamit. Apalagi labi-labi -- moda transportasi umum sejenis metro mini -- sudah menanti guna mengangkutnya menuruni bukit Jabal Ghafur dengan penuh kecewa. "Assalamualaikum..." ucap Widodo sebelum badan "langsingnya" menghilang ditelan labi-labi.

Sudah belasan tahun saya mencerna makna dari kekecewaan itu.  

Menguak Tabir ‘Tas Hitam’ Hasan Tiro

MENGULAS sosok yang satu ini, kita seperti tak kehabisan kata menggulitinya. Fenomena yang terekam dari kehidupannya bak selimut di puncak gunung Seulawah. Membahas ide-idenya juga tak cukup satu meja, apalagi kalau cuma sekadar meja bundar. Begitulah dia hidup dalam imaji rakyat Aceh. Meski jasadnya sudah tiada, tapi ‘nafas’nya seakan masih terasa. 
 
Begitulah Teungku Hasan Muhammad di Tiro hidup. Siapa tokoh ini, saya pikir tak usah lagi kita ulas lebih detil. Apalagi tokoh yang disapa Wali itu sudah 62 hari pergi. Bicara figur militan itu, saya yakin semua orang sudah memahami, kecuali kalau ada yang tak mau tahu. 
Yang paling diketahui banyak orang sudah pasti, dia tokoh pemberontak, penggagas sebuah gerakan perlawanan dan ungkapan lain. Akan tetapi, dibalik semua itu, nyaris tak banyak orang ‘mengenal’ wataknya yang keras, disiplin, telaten, dan sarat wibawa. 
Semua pujian saya yakin selalu mengalir ke sosok pria kelahiran Tanjong Bungong, 25 September 1925 itu. Sebagai penulis, Hasan Tiro adalah contoh yang patut ditiru. Catatannya terdata rapi, gagasan dan idenya menjulang awan. Ketika orang lain baru berpikir, dia malah sudah berbuat, secara tersirat mungkin ini bisa kita lihat dari karyanya yang berjudul ‘Demokrasi Untuk Indonesia’. 
Dus, kekaguman pengikutnya, bukan pula pada unsur karena Hasan terlahir dari trah Tiro; klan pejuang yang membuat penjajah merinding. Tapi ada sisi lain—mungkin-- yang abai dipahami, pengikut, simpatisan dan orang-orang dekat. Itulah yang menambah kemisterian sampai menembus batas imaji. 
Padahal, Hasan Tiro itu adalah sosok yang sangat rapi dalam pendokumentasian. Bayangkan saja, ketika masih bergerilya pun dia mampu membuat catatan berupa stensilan, meski belum selesai. Namanya, The Price of Freedom; The Unfinished Diary of Teungku Hasan  di Tiro.Buku setebal 238 halaman terbit di London pada 1981.
Beranjak dari situ bukan mustahil, sejak dia cabut dari Aceh pada 29 Maret 1979, cukup banyak tulisan dan arsip-arsip yang disimpan rapi. Mungkin saja sudah ada yang hendak dia bukukan, tapi belum sampai, sama seperti cita-cita yang membentur damai. Atau bahkan ada catatan hariannya yang lain, tapi di mana? Sayangnya, sampai ayah Karim Tiro itu menghembus nafas terakhir, kita tidak tahu bagaimana nasib kertas-kertas usang itu.  
Berangkat dari rasa ingin tahu yang menyergap, tak ada salahnya kita juga melacak posisi dokumen yang dimaksud, dengan harapan ini bagian bukti sejarah tokoh besar Aceh abad 20. Sebab kita tahu, Hasan Tiro itu pelaku sejarah dan mungkin saja bisa kita sebut pencatat sejarah; minimal sejarah perjuangannya yang belum kelar.  
Kita tahu, kiprahnya memang acap dibalut kabut. Meski sudah tiada pun, ‘kegelapan’ itu masih tetap terasa walau kita tak bisa meraba. Tentu yang paling gampang kita sebut adalah, misteri perjuangannya hingga menggelinding damai, buah hatinya yang bernama Karim, serta ending dari catatan hariannya yang belum kelar. Jika kita menusuk lebih dalam, tentu saja, muncul pertanyaan yang seakan tak terjawab sampai sekarang.
Pertanyaan yang belum terjawab itu bisa kita baca ditulisan Neta S Pane dalam buku ‘Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka’. Mirai itu antara lain, kemana dana yang dikirimkan Daud Beureueh pada 1975 untuk membeli senjata. Lalu benarkan Daud Beureueh mendukung sosok cerdes Hasan Tiro untuk memproklamirkan Aceh merdeka dari Indonesia.
Singkat kata. Semua jawaban seakan tersimpan dalam tembok baja. Jika ditimang lagi, sampai detik-detik ajal berakhir, juga cukup banyak informasi berselerawan. Ada yang meniup seruling isu, dia sudah duluan menutup mata, sebelum kabar duka membahana di masyarakat. Kabar nan kabur itu tak berlebihan bila menguap. Sebab, semua mencuat karena popularitas Hasan Tiro. Bukan yang lain. Kalau mengutip kata bijak, hanya besar yang kerap diterpa badai. Begitulah sosok yang melagenda ini.
Sisi gelap belum tersingkap
Kekuatan tabir misteri itu, kian utuh setelah kepergiannya. Sebab banyak tanya belum terungkap. Di antaranya, kenapa orang bisa takzim di depannya, meski sebelum itu sudah pasang aksi sedikiti wibawa. Kenapa namanya agung dan disanjung ribuan pengikut. Atau karena aura yang melingkupi tokoh legesdaris ini amat kuat. Sayang, belum satu pun tersingkap.
Sama seperti belum tersibaknya, apa saja isi ‘tas hitam’ yang acap ditunjukkan Wali pada setiap tamu yang bertandang ke kamar 0075 Apartemen Alby Blok 11 Norsborg, Stockholm, Swedia. Kata sejumlah penulis yang sudah bersua langsung di kediamannya, Wali menyimpan dengan rapi setiap dokumen tentang Aceh, termasuk kliping Koran.  
Sejumlah sumber lain ikut berkisah, Wali juga masih menyimpan dengan aman sebuah mesin ketik tua, foto kakek dan foto cantik sang isteri saat muda serta gambar anak tunggal mereka. Tentu semua dokumen-dokumen itu masih tersimpan di dinding kamar dan almari rumah pria necis yang selalu berdasi dengan jas rapi.
Sepertinya, benda-benda koleksi Wali harus dimuseumkan. Ini penting, mengingat dan belajar dari beberapa tokoh di daerah lain yang dikultuskan pengikutnya. Bukan tidak mungkin akan muncul kolektor yang berhasrat mengoleksi benda yang pernah dipakai dan disimpan tokoh idolanya.
Salah satu yang patut dicermati adalah, isi ‘tas hitam’ Wali. Boleh jadi, ‘tas hitam’ ini akan menyibak misteri siapa Wali berikutnya yang direkomendir Hasan Tiro. Bila pun tidak, bisa pula bahwa hanya dirinya Wali terakhir. Setelah dimangkat, --kecuali keturunannya, maka yang lain belum berhak. Ini juga belum ada peunutoh. Dan banyak arsip-arsip lain soal Aceh yang sedikitnya bisa memberi pencerahan kepada masyarakat.
Belajar dari kasus lampau juga, ketika S.M. Kartosuwiryo yang berhasrat mendirikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat. Saat Kartosuwiryo mangkat, muncul kabar, yang mengklaim dirinyalah pemegang mandat untuk melanjutkan perjuangannya. Sama seperti halnya Hasan tiro, apakah tongkat estafet gerakan perjuangan yang dicetusnya sudah ada ‘diwariskan’? Kepada siapa, Karim Tiro atau yang lain? Ini belum terjawab.
Dan banyak hal penting lagi yang mesti diketahui publik, baik pendukungnya yang tak berhenti menyanjung atau orang kampung yang penuh kagum. Sepertinya orang juga tak ragu lagi kalau bicara komitmennya tentang perdamaian.
Lalu, betapa urgensinya black bag itu? Saya pikir ini sama mahalnya dengan black box milik pesawat terbang. Untuk mendapat jawaban kenapa ‘burung besi’ naas, cuma dengan menemukan kotak hitam itu, baru misteri tersingkap. Sebenarnya tak jauh beda pula dengan blag bag Wali.
Namanya memang hitam, tapi sebenarnya kotak yang dimaksud itu berwarna jingga atau oranye. Begitu juga dengan ‘tas hitam’ Wali, warnanya tidak hitam, tapi coklat tua. Dan ada seperti tas komputer jinjing. Penting black bag itu dibuka guna menjawab kemisteriusan yang melilit selama ini. Salah satunya, kenapa tidak sembarang orang bisa menjumpainya? Termasuk kabar kematiannya, bagaimana dia menanggapi serta tanggapan dia terhadap tentara-tentaranya yang terus berperang sebelum damai datang. Banyak yang yakin black bag itu menyimpan banyak catatan peristiwa perjalanan hidupnya. Termasuk yang kita terka-terka tadi.
Pada sisi lain, pendukung dan simpatisan fanatiknya pun, tidak terus dihinggapi rasa, itu dan ini Peunutoh Wali. Jika yang bersangkutan masih hidup, tentu peunutoh masih berlaku. Tapi ketika dia sudah mangkat, tentu akan akan ada yang namanya Wasiet Wali.
Dari mana orang tahu bahwa itu, peunutoh atau wasiet wali? Sekali lagi sulit menjawabnya. Tapi dengan membuka ‘tas hitam’ dengan segala makna, paling tidak kita bisa mencerna manasaja pusakanya. Memang membuka ‘tas hitam’ tak segampang membaca kotak hitam.
Kendati, isi yang kita lihat dan terima tak sesuai harapan, itu bukan problem. Namun, yang paling penting adalah, informasinya berguna bagi Aceh dan dunia. Seperti bergunanya cinta di mata bening Dora bagi Hasan Tiro yang fotonya menghias dinding rumah. Dengan cintanya pula, Hasan Tiro menduniakan Aceh.
Pun begitu, kita berharap isi ‘tas hitam’ tersebut bisa pula terdokumentai dengan rapi. Seperti kompilasi tulisan soal Wali yang bisa kita baca dalam buku ’Hasan Tiro, The Unfinished Story of Aceh’ yang diterbitkan Bandar Publishing, Banda Aceh dan diluncurkan serta diskusi pada Minggu (1/8) lalu.
Semua sikap; baik kagum atawa tidak, semua terungkap dalam coretan 44 penulis yang terdiri dari beragam unsur, mulai dari jurnalis, pengamat, akademisi, aktivis, hingga usahawan. Ini memang ditulis orang luar lingkaran, sehingga menarik kita tunggu coretan ‘orang dalam’ yang dekat dengan sang legenda.
Dalam diskusi itu juga mencuat soal ‘tas hitam’ tersebut. Sehingga menarik kita tunggu opisode Wali yang lain. Syukur, jika topiknya isi ‘tas hitam’ serta pemikiran yang belum diketahui khalayak dari tokoh yang dikultuskan pengikutnya. Dengan harapan semoga ‘tas hitam’ itu membuka tabir yang selama ini sedikit sumir.

Tulisan ini sudah pernah dimuat 
di rubrik OPINI Harian Serambi Indonesia
pada 4/8/2010

IHL dan Boring-boring Nahrawi


Ilustrasi via Inilah.com

KISRUH sepakbola di tanah air makin dalam. Hingga sepekan lagi kurang dari satu bulan, konflik antara Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dengan badan sepakbola nasional (baca: PSSI) belum menunjukkan tanda-tanda injury time atau bahkan menemukan titik temu.

Sebagai olahraga populer di dunia, tentu saja termasuk Indonesia, sepakbola punya penggilanya tersendiri. Kecintaan mereka bukan saja sebatas mengoleksi jersey atau kostum klub semata. Bahkan ada yang lebih ekstrem lagi, bisa membunuh hanya gara-gara diejek timnya kalah.

Kondidi, sepakbola Indonesia sudah pasti yang saya maksud kompetisinya--tentu belum masuk pada taraf profesional layaknya klub Bundesliga di Liga Jerman, Serie A Italia, La Liga di Spanyol atau bahkan Liga Inggris. Jujur saja, level Asia Tenggara saja kita sudah sesak nafas.

Harus diakui memang, belum ada prestasi yang "mengkartini" dalam satu dekade terakhir, tidak juara AFF, Sea Games apalagi Asian Games. Kenapa Kartini? Karena cuma dia yang harum namanya, sehingga selebihnya sepakbola Indonesia menjadi "angin-anginan".

Kondisi karut marut kompetisi inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan kementerian terkait meniup peluit penalti, yang bunyinya nyaring di kala injury time. Akumulasi fouls (pelanggaran) itulah yang membuat Kemenpora menekel PSSI di kancah kompetisi.

Terlepas dari dosa yang sudah membukit dipunggung PSSI, menurut saya, tindakan pemerintah membekukan PSSI sudah sangat terlambat. Karena, saat kecintaan para suporter begitu tinggi --seperti pengalaman timnas U-19, giliran pemerintah "mengulah" dengan mendepak lembaga  sepakbola itu.

Mereka yang awam pasti ingin, imbas dari pembekuan itu tidak merembet sampai ke klub. Karena klub itulah simbol identitas sosial sebuah masyarakat di suatu daerah. Kenapa pemerintah mendongkel PSSI itu sama artinya ikut membekukan klub, kenapa? Karena wadah klub sepakbola itu ya, PSSI.

Tatkala klub ikut menerima "kemurkaan" pemerintah, suporter awan bertanya lagi, buat apa? bukankah tak ada lagi "modal" pemerintah di sepakbola, terutama di klub-klub yang profesional? Larangan suntikan dana ke klub itu sudah jelas aturannya. 

Kita tahu, sejak turunnya Permendagri Nomor 22 Tahun 2011, klub-klub sepakbola kelimpungan mencari dana. Sebab, aturan itu dengan tegas melarang pemerintah daerah mengalokasikan dana  APBD untuk mengongkosi klub sepakbola profesional.

Dan hasilnya, mulai tahun 2012, Menteri Dalam Negeri resmi menyetop pengucuran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) oleh pemerintah daerah untuk klub sepakbola profesional. 

Hanya saja, di aturan itu disebutkan "pendanaan untuk organisasi cabang olahraga profesional tidak dianggarkan dalam APBD karena menjadi tanggung jawab induk organisasi cabang olahraga dan/atau organisasi olahraga profesional yang bersangkutan.

Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional..." Lalu, pasal 1 ayat 15 UU Nomor 3 Tahun 2005 mendefinisikan bahwa cabang olahraga profesional adalah olahraga yang dilakukan untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang atau bentuk lain yang didasarkan atas kemahiran berolahraga.

Pertanyaannya kemudian, kalau memang pemerintah, lewat tangan Kemenpora ingin mengintervensi lembaga itu, bukankah saat yang lebih tepat sebelum permendagri itu turun. Sebab, pemerintah masih punya saham di klub lewat bantuan dana APBD atau APBK-nya.

Bila, sekarang baru pemerintah balas dendam, itu langsung menyirat banyak tanya pada rakyat. Apakah ada unsur politisnya? Menpora pasti menjawab tidak. Tapi ada fakta yang tidak bisa dibantah, bahwa ada voter yang mengaku, pada Kongres Luar Biasa 18 April 2015 itu jagoan "pemerintah" kalah, sehingga menjadi sebuah alasan untuk mempercepat pembekuan lembaga tersebut.

Apalagi, ketua PSSI terpilih La Nyalla Mattalitti terang-terangan tak mendukung Jokowi-Kalla pada masa kampanye pemilhan presiden. Kala itu, Ketua Kadin Jawa Timur itu masih berstatus Wakil Ketua Umum PSSI Ketua Badan Tim Nasional (BTN).

Untuk menjadi tim sukses calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa --- kala itu-- La Nyalla sudah mengajukan cuti dari PSSI. Sebagai "utusan" dari sepakbola, La Nyalla tidak sendiri. Dia bersama anggota Komite Eksekutif, Roberto Rhouw, menjadi tim pemenangan Prabowo-Hatta.

Dia akui atau tidak, sikap yang berlawanan itu, tentu saja menjadi pelumas guna mempercepat pembekuan PSSI. Apalagi hasil KLB di Surabaya, pemenangnya adalah La Nyalla, pendukung Prabowo-Hatta.

Dan hasilnya, rakyat sudah melihat bahwa unsur politik juga ikut bermain dalam ranah kisruh ini. Mustahil, orang yang sudah terang-terangan mendukung lawan, lalu dibiarkan leluasa berkuasa di sepakbola. Sedikit banyak, "dendam" politik itu pasti mengemuka.

Bukan itu saja. Kabarnya, ada interes pribadi antara Imam dan La Nyalla yang kemudia ikut menjadi bumbu, sehingga pembekuan PSSI itu menjadi cepat "masak". Benarkah? hanya kejujuran seorang Nahrawi yang bisa menjawabnya.

Terlepas dari sikap yang disambut prokontra itu, kini kisruh benar-benar sudah runcing. Dalil yang dipapar Kemenpora dalam membekukan PSSI juga dinilai kuat, karena menilai induk cabang sepak bola tertinggi di Indonesia itu telah mengabaikan surat teguran tertulis yang dikeluarkan pemerintah.

Seperti dilansir sebuah media nasional, salah satu isi surat itu adalah memerintahkan Arema Cronus dan Persebaya Surabaya untuk memenuhi permintaan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI).

Arema dan Persebaya dinilai bermasalah sehingga tidak mendapatkan rekomendasi untuk ikut serta dalam ISL 2015. Kedua klub itu dinilai BOPI masih terkendala masalah tiga aspek wajib, yakni kontrak kerja profesional, dokumen keuangan, dan legalitas klub.

Lalu, pada Minggu (26/4/2015), PT Liga Indonesia memutuskan untuk menghentikan sementara semua laga ISL dan Divisi Utama. Penghentian itu terkait surat Menpora Imam Nahrawi mengenai larangan pemberian izin keramaian polisi untuk semua kompetisi sepak bola di bawah koordinasi PSSI.

kemudian, pada Senin (27/4/2015), Menpora menggelar rapat bersama perwakilan 18 klub ISL. Namun, rapat itu mengalami deadlock karena kedua kubu tidak menghasilkan kesepakatan terkait masalah induk penyelenggara kompetisi.

Klub-klub ISL ingin melanjutkan kompetisi di bawah naungan PSSI yang saat ini tengah dibekukan oleh pemerintah. Sementara itu, Menpora menginginkan kompetisi tersebut dijalankan di bawah pihaknya melalui tim transisi.

Pada Kamis (30/4/2015), Kemenpora meminta PSSI untuk kembali menggulirkan kompetisi ISL paling lambat Minggu (9/5/2015). Namun, PSSI memutuskan untuk tetap menghentikan kompetisi dengan alasan force majeure.

Kata orang, tak angin, tak ada hujan dan tak ada bencana, kenapa kompetisi dalam kondisi force majeure. Para pendukung sepakbola melihat, PSSI secara eksplisit ingin mengatakan bahwa, pemerintah, dalam hal ini Menpora-lah yang menjadi pembawa "bencana" bagi sepakbola Indonesia.

Kita berharap, kompetisi tetap bisa berjalan kembali. Sebab tak sedikit stakeholder yang menaruh harapan pada sepakbola. Bagi sebagian orang ingin mendapat hiburan dari tribun stadion. Meski itu kompetisi dikelola Kemenpora melalui "PSSI tandingannya" atau tim transisi.

Bagi kami yang awam, jika pun kemudian lahir "PSSI Perjuangan" sebaiknya Indonesia Super League (ISL) itu jangan sampai diganti nama menjadi Imam Nahrawi League (IHL). Sebab, suasana tribune penonton akan menjadi riuh seperti di Emirates Stadium, pada Minggu (26/4/2015) saat Arsenal meladeni Chelsea dalam lanjutan Liga Inggris.

Saat itu, suporter Arsenal meneriakkan chant 'boring boring Chelsea' kepada tim racikan Jose Mourinho. Tentu kita, kita tak ingin teriakan dari tribun penonton di SUGBK, Stadion Mahanan Solo, Jaka Baring, Stadion H Dimurtaha Banda Aceh, Stadion Agusalim, Padang dan lain-lain akan bernada sama, tapi diganti bunyinya 'boring boring Nahrawi'.

Bila ini terjadi, tentu Nahrawi yang bertindak selalu pemerintah, tak akan menjadi menang seperti The Happy One. Kenapa? karena FIFA sudah siap meniup peluit sanksi, untuk menambah dalam luka sepakbola Indonesia. Semoga tidak 'boring boring Nahrawi'

Selasa, 11 Oktober 2016

Tadarus Online

Ilustrasi

SEORANG teman mania bola mengeluh kepada televisi berbayar yang menayangkan pertandingan sepakbola Liga Inggris. Bukan dia tak suka, cuma waktunya yang membuat dia ‘merana’. Lantas, dengan sinis dia menuding, pihak penyelenggara Liga Primer Inggris, sengaja memutar kompetisi elitenya pada saat kaum muslim di nusantara sedang beribadah.

Rilnya, pada pekan-pekan tertentu, saat Maghrib atau lima menit sebelum Isya, peluit kick off selalu melengking nyaring dari tanah sepakbola itu. Akibatnya, banyak mania bola yang lebih mengatur shaf di depan televisi ketimbang di masjid atau mushala-mushala.

Bila asumsi itu benar, maka logika ini sepertinya tak masuk akal. Sebab mereka tak bermaksud mengobok-obok kekusyukan orang beribadah. Pasalnya, kompetisi di Inggris sana diputar pada pukul 12.45 atau 13.30 waktu setempat. Dan itu lebih pada kepentingan komersil daripada persoalan yang saya maksud di atas tadi.

Memang pada siang hari, waktu yang lazim dipakai pihak Barclay’s Premier League (BPL) memulai kompetisi di akhir pekan. Hanya kebetulan saja, jika waktu kick off di Inggris dan saat hendak azan Maghrib serta Isya di Indonesia bentrok. Karena memang selisih waktu antara Inggris dengan Indonesia juga Aceh sekitar delapan jam.

Sehingga tak mengherankan saat makan siang di sana, kita sedang atau akan melakukan ibadah shalat Maghrib. Begitulah, sehingga kita bisa meyakini itu memang faktor kebetulan saja, tanpa ada unsur sabotase keimanan kaum muslim di mana pun. Kenapa yakin seperti itu, karena liga profesional ini lebih memilih unsur finansial dari sponsor ketimbang mengurusi masalah ibadah orang.

Sebab, kabarnya, sang sponsor sengaja memutar kompetisi pada jam tersebut atas kepentingan penjualan hak siar di belahan benua lain yang menanti siaran dimaksud. So pasti, mereka menghendaki seperti itu untuk kepentingan bisnis. Saya pikir, ini tak ada unsur untuk melalaikan shalat orang saat pertandingan dimulai.

Saya yakin, ini murni ‘kesalahan’ kita, atau barangkali lebih disebabkan iman kita setipis garis gawang atau hanya sebesar bola. Sehingga lebih memilih nongkrong di depan televisi daripada sujud kepada Tuhan.

Mungkin pula, pada diri orang lain keimanannya selebar lapangan bola, sampai-sampai mampu menutup layar televisi. Berhubung imannya sedikit tebal, maka dia lebih memilih menatap sajadah ketimpang memeloti lapangan hijau.

Singkat cerita, jika memang, imannya tanpa ‘gangguan’, tentu meski jadwal pertandingan bentrok dengan waktu ibadah, dia lebih mementingkan urusan akhirat. Sebaliknya, mereka yang kadar iman pas-pasan, tentu pula shalat Maghrib dan Isya akan lewat begitu saja.

Nah, dalam bulan Ramadhan, eh Ramadan maksud saya, gejala seperti itu terus mewabah, karena faktor keimanan kita yang tergerus globalisasi. Makanya menjadi tak mengherankan jika shaf-shaf jamaah tarawih pun menerima imbasnya.

Bila selama ini kita sudah lazim melihat shaf shalat tarawih itu penuh sesak memadati masjid, terutama pada fase awal puasa atau sepuluh malam pertama. Akan tapi begitu memasuki malam-malam selanjutnya, kondisi menjadi berbeda.

Artinya, malam-malam pertama, masjid penuh sesak, kemudian pada fase sepuluh malam kedua, masjid mulai longgar, karena banyak jamaah absent. Lalu pada sepuluh malam terakhir tinggal lima hingga tiga shaf saja. Gejala ini sudah sering mengundang kritik dari banyak penceramah. Bahkan tak sedikit ustadz menamsilkan fenomena itu sebagai ‘teori’ ekor tikus. Pangkalnya besar, ujung makin kecil meruncing.

Hal semacam ini sudah jamak dalam kehidupan beragama kita, dan malah menganggap gejala itu bukan sesuatu yang patut dikhawatirkan. Lantas, apakah semua jamaah begitu? Tanpa maksud memvonis semaunya, memang gejala itu tidak hinggap di semua umat, sebab tak sedikit juga yang mengisi malam Ramadan dengan tadarus, meski ada sebagian lagi yang ‘bertadarus’ secara berjamaah di tempat lain.

Tak bisa dipungkiri, jamaah tadarus di meunasah-meunasah jauh lebih sedikit ketimbang mereka yang mengisi malam-malam Ramadan di warung kopi dan café-café. Mereka yang ‘bertadarus’ di tempat ini secara berjamaa pun tak kalah banyak.

Yang menarik tentu saja, mereka yang candu berselancar di dunia maya. Kendati warung ditutup, tetapi pengunjung tetap berjibun di dalamnya. Tentu dengan segala urusan dan persoalan masing-masing.

Begitu selesai tarawih, mereka pun ikut ‘bertadarus’ secara online. Dari mayoritas pencandu internet yang penulis lihat, umumnya mereka sibuk dengan facebook, atau main game online serta sarana permainan lainnya yang tersedia. Meski ada juga yang bernilai positif.

Dan pemandangan ini pun lazim kita lihat di warung-warung kopi, saat di masjid mengalun merdu suara orang tadarus, di tempat lain juga gaduh dengan ‘tadarus online’.  Ini memang hak semua orang untuk tidak dan melakukan apa yang ingin dia perbuat. Apalagi ini amalan sunat, sehingga hanya orang yang kadar keimanannya kuat saja yang mengisi malam-malam Ramadan dengan amal saleh.

Namun, dari sisi lain, ini menunjukkan lubang hitam di wajah kota yang katanya Bandar Wisata Islami. Keislamian yang hendak diharapkan nyaris tak terlihat, sebab ketidakpatuhan mereka untuk menghargai orang-orang yang beribadah di bulan puasa.

Sekali lagi ini sepertinya kesalahan kita yang makin tipis keimanan akibat digerus globalisasi, sehingga acap melupakan masalah ukhrawi. Sama seperti keluhan seorang sahabat yang kita rawi diawal tulisan ini.  

Lalu, jika memang beberapa asumsi dalam tulisan ini tidak benar, maka itu jelas kesalahan penulisnya. Bila juga tidak salah, semoga kita tidak berada dalam shaf-shaf online, saat yang lain sedang beribadah. Sebab lebih utama kita berapa pada shaf yang sebenarnya. Semoga. [a]

Tulisan Opini ini sudah dimuat Harian Serambi Indonesia