Selasa, 11 Oktober 2016

Tadarus Online

Ilustrasi

SEORANG teman mania bola mengeluh kepada televisi berbayar yang menayangkan pertandingan sepakbola Liga Inggris. Bukan dia tak suka, cuma waktunya yang membuat dia ‘merana’. Lantas, dengan sinis dia menuding, pihak penyelenggara Liga Primer Inggris, sengaja memutar kompetisi elitenya pada saat kaum muslim di nusantara sedang beribadah.

Rilnya, pada pekan-pekan tertentu, saat Maghrib atau lima menit sebelum Isya, peluit kick off selalu melengking nyaring dari tanah sepakbola itu. Akibatnya, banyak mania bola yang lebih mengatur shaf di depan televisi ketimbang di masjid atau mushala-mushala.

Bila asumsi itu benar, maka logika ini sepertinya tak masuk akal. Sebab mereka tak bermaksud mengobok-obok kekusyukan orang beribadah. Pasalnya, kompetisi di Inggris sana diputar pada pukul 12.45 atau 13.30 waktu setempat. Dan itu lebih pada kepentingan komersil daripada persoalan yang saya maksud di atas tadi.

Memang pada siang hari, waktu yang lazim dipakai pihak Barclay’s Premier League (BPL) memulai kompetisi di akhir pekan. Hanya kebetulan saja, jika waktu kick off di Inggris dan saat hendak azan Maghrib serta Isya di Indonesia bentrok. Karena memang selisih waktu antara Inggris dengan Indonesia juga Aceh sekitar delapan jam.

Sehingga tak mengherankan saat makan siang di sana, kita sedang atau akan melakukan ibadah shalat Maghrib. Begitulah, sehingga kita bisa meyakini itu memang faktor kebetulan saja, tanpa ada unsur sabotase keimanan kaum muslim di mana pun. Kenapa yakin seperti itu, karena liga profesional ini lebih memilih unsur finansial dari sponsor ketimbang mengurusi masalah ibadah orang.

Sebab, kabarnya, sang sponsor sengaja memutar kompetisi pada jam tersebut atas kepentingan penjualan hak siar di belahan benua lain yang menanti siaran dimaksud. So pasti, mereka menghendaki seperti itu untuk kepentingan bisnis. Saya pikir, ini tak ada unsur untuk melalaikan shalat orang saat pertandingan dimulai.

Saya yakin, ini murni ‘kesalahan’ kita, atau barangkali lebih disebabkan iman kita setipis garis gawang atau hanya sebesar bola. Sehingga lebih memilih nongkrong di depan televisi daripada sujud kepada Tuhan.

Mungkin pula, pada diri orang lain keimanannya selebar lapangan bola, sampai-sampai mampu menutup layar televisi. Berhubung imannya sedikit tebal, maka dia lebih memilih menatap sajadah ketimpang memeloti lapangan hijau.

Singkat cerita, jika memang, imannya tanpa ‘gangguan’, tentu meski jadwal pertandingan bentrok dengan waktu ibadah, dia lebih mementingkan urusan akhirat. Sebaliknya, mereka yang kadar iman pas-pasan, tentu pula shalat Maghrib dan Isya akan lewat begitu saja.

Nah, dalam bulan Ramadhan, eh Ramadan maksud saya, gejala seperti itu terus mewabah, karena faktor keimanan kita yang tergerus globalisasi. Makanya menjadi tak mengherankan jika shaf-shaf jamaah tarawih pun menerima imbasnya.

Bila selama ini kita sudah lazim melihat shaf shalat tarawih itu penuh sesak memadati masjid, terutama pada fase awal puasa atau sepuluh malam pertama. Akan tapi begitu memasuki malam-malam selanjutnya, kondisi menjadi berbeda.

Artinya, malam-malam pertama, masjid penuh sesak, kemudian pada fase sepuluh malam kedua, masjid mulai longgar, karena banyak jamaah absent. Lalu pada sepuluh malam terakhir tinggal lima hingga tiga shaf saja. Gejala ini sudah sering mengundang kritik dari banyak penceramah. Bahkan tak sedikit ustadz menamsilkan fenomena itu sebagai ‘teori’ ekor tikus. Pangkalnya besar, ujung makin kecil meruncing.

Hal semacam ini sudah jamak dalam kehidupan beragama kita, dan malah menganggap gejala itu bukan sesuatu yang patut dikhawatirkan. Lantas, apakah semua jamaah begitu? Tanpa maksud memvonis semaunya, memang gejala itu tidak hinggap di semua umat, sebab tak sedikit juga yang mengisi malam Ramadan dengan tadarus, meski ada sebagian lagi yang ‘bertadarus’ secara berjamaah di tempat lain.

Tak bisa dipungkiri, jamaah tadarus di meunasah-meunasah jauh lebih sedikit ketimbang mereka yang mengisi malam-malam Ramadan di warung kopi dan café-café. Mereka yang ‘bertadarus’ di tempat ini secara berjamaa pun tak kalah banyak.

Yang menarik tentu saja, mereka yang candu berselancar di dunia maya. Kendati warung ditutup, tetapi pengunjung tetap berjibun di dalamnya. Tentu dengan segala urusan dan persoalan masing-masing.

Begitu selesai tarawih, mereka pun ikut ‘bertadarus’ secara online. Dari mayoritas pencandu internet yang penulis lihat, umumnya mereka sibuk dengan facebook, atau main game online serta sarana permainan lainnya yang tersedia. Meski ada juga yang bernilai positif.

Dan pemandangan ini pun lazim kita lihat di warung-warung kopi, saat di masjid mengalun merdu suara orang tadarus, di tempat lain juga gaduh dengan ‘tadarus online’.  Ini memang hak semua orang untuk tidak dan melakukan apa yang ingin dia perbuat. Apalagi ini amalan sunat, sehingga hanya orang yang kadar keimanannya kuat saja yang mengisi malam-malam Ramadan dengan amal saleh.

Namun, dari sisi lain, ini menunjukkan lubang hitam di wajah kota yang katanya Bandar Wisata Islami. Keislamian yang hendak diharapkan nyaris tak terlihat, sebab ketidakpatuhan mereka untuk menghargai orang-orang yang beribadah di bulan puasa.

Sekali lagi ini sepertinya kesalahan kita yang makin tipis keimanan akibat digerus globalisasi, sehingga acap melupakan masalah ukhrawi. Sama seperti keluhan seorang sahabat yang kita rawi diawal tulisan ini.  

Lalu, jika memang beberapa asumsi dalam tulisan ini tidak benar, maka itu jelas kesalahan penulisnya. Bila juga tidak salah, semoga kita tidak berada dalam shaf-shaf online, saat yang lain sedang beribadah. Sebab lebih utama kita berapa pada shaf yang sebenarnya. Semoga. [a]

Tulisan Opini ini sudah dimuat Harian Serambi Indonesia


EmoticonEmoticon