Ilustrasi |
SEORANG teman mania bola mengeluh kepada
televisi berbayar yang menayangkan pertandingan sepakbola Liga Inggris. Bukan
dia tak suka, cuma waktunya yang membuat dia ‘merana’. Lantas, dengan sinis dia
menuding, pihak penyelenggara Liga Primer Inggris, sengaja memutar kompetisi
elitenya pada saat kaum muslim di nusantara sedang beribadah.
Rilnya,
pada pekan-pekan tertentu, saat Maghrib atau lima menit sebelum Isya, peluit kick
off selalu melengking nyaring dari tanah sepakbola itu. Akibatnya, banyak
mania bola yang lebih mengatur shaf di depan televisi ketimbang di masjid atau
mushala-mushala.
Bila asumsi
itu benar, maka logika ini sepertinya tak masuk akal. Sebab mereka tak
bermaksud mengobok-obok kekusyukan orang beribadah. Pasalnya, kompetisi di
Inggris sana diputar pada pukul 12.45 atau 13.30 waktu setempat. Dan itu lebih
pada kepentingan komersil daripada persoalan yang saya maksud di atas tadi.
Memang pada
siang hari, waktu yang lazim dipakai pihak Barclay’s Premier League (BPL)
memulai kompetisi di akhir pekan. Hanya kebetulan saja, jika waktu kick off
di Inggris dan saat hendak azan Maghrib serta Isya di Indonesia bentrok. Karena
memang selisih waktu antara Inggris dengan Indonesia juga Aceh sekitar delapan
jam.
Sehingga
tak mengherankan saat makan siang di sana, kita sedang atau akan melakukan
ibadah shalat Maghrib. Begitulah, sehingga kita bisa meyakini itu memang faktor
kebetulan saja, tanpa ada unsur sabotase keimanan kaum muslim di mana pun.
Kenapa yakin seperti itu, karena liga profesional ini lebih memilih unsur
finansial dari sponsor ketimbang mengurusi masalah ibadah orang.
Sebab,
kabarnya, sang sponsor sengaja memutar kompetisi pada jam tersebut atas
kepentingan penjualan hak siar di belahan benua lain yang menanti siaran
dimaksud. So pasti, mereka menghendaki seperti itu untuk kepentingan bisnis.
Saya pikir, ini tak ada unsur untuk melalaikan shalat orang saat pertandingan
dimulai.
Saya yakin,
ini murni ‘kesalahan’ kita, atau barangkali lebih disebabkan iman kita setipis
garis gawang atau hanya sebesar bola. Sehingga lebih memilih nongkrong di depan
televisi daripada sujud kepada Tuhan.
Mungkin
pula, pada diri orang lain keimanannya selebar lapangan bola, sampai-sampai
mampu menutup layar televisi. Berhubung imannya sedikit tebal, maka dia lebih
memilih menatap sajadah ketimpang memeloti lapangan hijau.
Singkat
cerita, jika memang, imannya tanpa ‘gangguan’, tentu meski jadwal pertandingan
bentrok dengan waktu ibadah, dia lebih mementingkan urusan akhirat. Sebaliknya,
mereka yang kadar iman pas-pasan, tentu pula shalat Maghrib dan Isya akan lewat
begitu saja.
Nah, dalam
bulan Ramadhan, eh Ramadan maksud saya, gejala seperti itu terus mewabah,
karena faktor keimanan kita yang tergerus globalisasi. Makanya menjadi tak
mengherankan jika shaf-shaf jamaah tarawih pun menerima imbasnya.
Bila selama
ini kita sudah lazim melihat shaf shalat tarawih itu penuh sesak memadati
masjid, terutama pada fase awal puasa atau sepuluh malam pertama. Akan tapi
begitu memasuki malam-malam selanjutnya, kondisi menjadi berbeda.
Artinya,
malam-malam pertama, masjid penuh sesak, kemudian pada fase sepuluh malam
kedua, masjid mulai longgar, karena banyak jamaah absent. Lalu pada sepuluh
malam terakhir tinggal lima hingga tiga shaf saja. Gejala ini sudah sering
mengundang kritik dari banyak penceramah. Bahkan tak sedikit ustadz menamsilkan
fenomena itu sebagai ‘teori’ ekor tikus. Pangkalnya besar, ujung makin kecil
meruncing.
Hal semacam
ini sudah jamak dalam kehidupan beragama kita, dan malah menganggap gejala itu
bukan sesuatu yang patut dikhawatirkan. Lantas, apakah semua jamaah begitu?
Tanpa maksud memvonis semaunya, memang gejala itu tidak hinggap di semua umat,
sebab tak sedikit juga yang mengisi malam Ramadan dengan tadarus, meski ada
sebagian lagi yang ‘bertadarus’ secara berjamaah di tempat lain.
Tak bisa
dipungkiri, jamaah tadarus di meunasah-meunasah jauh lebih sedikit ketimbang
mereka yang mengisi malam-malam Ramadan di warung kopi dan café-café. Mereka
yang ‘bertadarus’ di tempat ini secara berjamaa pun tak kalah banyak.
Yang
menarik tentu saja, mereka yang candu berselancar di dunia maya. Kendati warung
ditutup, tetapi pengunjung tetap berjibun di dalamnya. Tentu dengan segala
urusan dan persoalan masing-masing.
Begitu
selesai tarawih, mereka pun ikut ‘bertadarus’ secara online. Dari mayoritas
pencandu internet yang penulis lihat, umumnya mereka sibuk dengan facebook,
atau main game online serta sarana permainan lainnya yang tersedia. Meski ada
juga yang bernilai positif.
Dan
pemandangan ini pun lazim kita lihat di warung-warung kopi, saat di masjid
mengalun merdu suara orang tadarus, di tempat lain juga gaduh dengan ‘tadarus
online’. Ini memang hak semua orang untuk tidak dan melakukan apa yang
ingin dia perbuat. Apalagi ini amalan sunat, sehingga hanya orang yang kadar
keimanannya kuat saja yang mengisi malam-malam Ramadan dengan amal saleh.
Namun, dari
sisi lain, ini menunjukkan lubang hitam di wajah kota yang katanya Bandar
Wisata Islami. Keislamian yang hendak diharapkan nyaris tak terlihat, sebab
ketidakpatuhan mereka untuk menghargai orang-orang yang beribadah di bulan
puasa.
Sekali lagi
ini sepertinya kesalahan kita yang makin tipis keimanan akibat digerus
globalisasi, sehingga acap melupakan masalah ukhrawi. Sama seperti
keluhan seorang sahabat yang kita rawi diawal tulisan ini.
Lalu, jika
memang beberapa asumsi dalam tulisan ini tidak benar, maka itu jelas kesalahan
penulisnya. Bila juga tidak salah, semoga kita tidak berada dalam shaf-shaf
online, saat yang lain sedang beribadah. Sebab lebih utama kita berapa pada
shaf yang sebenarnya. Semoga. [a]
Tulisan Opini ini sudah dimuat Harian Serambi Indonesia
EmoticonEmoticon