Ilustrasi via Inilah.com |
KISRUH sepakbola di tanah air makin dalam. Hingga sepekan
lagi kurang dari satu bulan, konflik antara Kementerian Pemuda dan Olahraga
(Kemenpora) dengan badan sepakbola nasional (baca: PSSI) belum menunjukkan
tanda-tanda injury time atau bahkan menemukan titik temu.
Sebagai olahraga populer di dunia, tentu saja termasuk
Indonesia, sepakbola punya penggilanya tersendiri. Kecintaan mereka bukan saja
sebatas mengoleksi jersey atau kostum klub semata. Bahkan ada yang lebih
ekstrem lagi, bisa membunuh hanya gara-gara diejek timnya kalah.
Kondidi, sepakbola Indonesia sudah pasti yang saya maksud
kompetisinya--tentu belum masuk pada taraf profesional layaknya klub Bundesliga
di Liga Jerman, Serie A Italia, La Liga di Spanyol atau bahkan Liga Inggris.
Jujur saja, level Asia Tenggara saja kita sudah sesak nafas.
Harus diakui memang, belum ada prestasi yang
"mengkartini" dalam satu dekade terakhir, tidak juara AFF, Sea Games
apalagi Asian Games. Kenapa Kartini? Karena cuma dia yang harum namanya,
sehingga selebihnya sepakbola Indonesia menjadi "angin-anginan".
Kondisi karut marut kompetisi inilah yang kemudian
menjadi salah satu alasan kementerian terkait meniup peluit penalti, yang
bunyinya nyaring di kala injury time. Akumulasi fouls (pelanggaran) itulah yang
membuat Kemenpora menekel PSSI di kancah kompetisi.
Terlepas dari dosa yang sudah membukit dipunggung PSSI,
menurut saya, tindakan pemerintah membekukan PSSI sudah sangat terlambat.
Karena, saat kecintaan para suporter begitu tinggi --seperti pengalaman timnas
U-19, giliran pemerintah "mengulah" dengan mendepak lembaga sepakbola itu.
Mereka yang awam pasti ingin, imbas dari pembekuan itu
tidak merembet sampai ke klub. Karena klub itulah simbol identitas sosial
sebuah masyarakat di suatu daerah. Kenapa pemerintah mendongkel PSSI itu sama
artinya ikut membekukan klub, kenapa? Karena wadah klub sepakbola itu ya, PSSI.
Tatkala klub ikut menerima "kemurkaan"
pemerintah, suporter awan bertanya lagi, buat apa? bukankah tak ada lagi
"modal" pemerintah di sepakbola, terutama di klub-klub yang
profesional? Larangan suntikan dana ke klub itu sudah jelas aturannya.
Kita tahu, sejak turunnya Permendagri Nomor 22 Tahun
2011, klub-klub sepakbola kelimpungan mencari dana. Sebab, aturan itu dengan
tegas melarang pemerintah daerah mengalokasikan dana APBD untuk mengongkosi klub sepakbola
profesional.
Dan hasilnya, mulai tahun 2012, Menteri Dalam Negeri
resmi menyetop pengucuran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) oleh
pemerintah daerah untuk klub sepakbola profesional.
Hanya saja, di aturan itu disebutkan "pendanaan
untuk organisasi cabang olahraga profesional tidak dianggarkan dalam APBD
karena menjadi tanggung jawab induk organisasi cabang olahraga dan/atau
organisasi olahraga profesional yang bersangkutan.
Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 29 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional..."
Lalu, pasal 1 ayat 15 UU Nomor 3 Tahun 2005 mendefinisikan bahwa cabang olahraga
profesional adalah olahraga yang dilakukan untuk memperoleh pendapatan dalam
bentuk uang atau bentuk lain yang didasarkan atas kemahiran berolahraga.
Pertanyaannya kemudian, kalau memang pemerintah, lewat
tangan Kemenpora ingin mengintervensi lembaga itu, bukankah saat yang lebih
tepat sebelum permendagri itu turun. Sebab, pemerintah masih punya saham di
klub lewat bantuan dana APBD atau APBK-nya.
Bila, sekarang baru pemerintah balas dendam, itu langsung
menyirat banyak tanya pada rakyat. Apakah ada unsur politisnya? Menpora pasti
menjawab tidak. Tapi ada fakta yang tidak bisa dibantah, bahwa ada voter yang
mengaku, pada Kongres Luar Biasa 18 April 2015 itu jagoan
"pemerintah" kalah, sehingga menjadi sebuah alasan untuk mempercepat
pembekuan lembaga tersebut.
Apalagi, ketua PSSI terpilih La Nyalla Mattalitti
terang-terangan tak mendukung Jokowi-Kalla pada masa kampanye pemilhan
presiden. Kala itu, Ketua Kadin Jawa Timur itu masih berstatus Wakil Ketua Umum
PSSI Ketua Badan Tim Nasional (BTN).
Untuk menjadi tim sukses calon presiden dan wakil
presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa --- kala itu-- La Nyalla sudah
mengajukan cuti dari PSSI. Sebagai "utusan" dari sepakbola, La Nyalla
tidak sendiri. Dia bersama anggota Komite Eksekutif, Roberto Rhouw, menjadi tim
pemenangan Prabowo-Hatta.
Dia akui atau tidak, sikap yang berlawanan itu, tentu
saja menjadi pelumas guna mempercepat pembekuan PSSI. Apalagi hasil KLB di
Surabaya, pemenangnya adalah La Nyalla, pendukung Prabowo-Hatta.
Dan hasilnya, rakyat sudah melihat bahwa unsur politik
juga ikut bermain dalam ranah kisruh ini. Mustahil, orang yang sudah
terang-terangan mendukung lawan, lalu dibiarkan leluasa berkuasa di sepakbola.
Sedikit banyak, "dendam" politik itu pasti mengemuka.
Bukan itu saja. Kabarnya, ada interes pribadi antara Imam
dan La Nyalla yang kemudia ikut menjadi bumbu, sehingga pembekuan PSSI itu
menjadi cepat "masak". Benarkah? hanya kejujuran seorang Nahrawi yang
bisa menjawabnya.
Terlepas dari sikap yang disambut prokontra itu, kini
kisruh benar-benar sudah runcing. Dalil yang dipapar Kemenpora dalam membekukan
PSSI juga dinilai kuat, karena menilai induk cabang sepak bola tertinggi di
Indonesia itu telah mengabaikan surat teguran tertulis yang dikeluarkan
pemerintah.
Seperti dilansir sebuah media nasional, salah satu isi
surat itu adalah memerintahkan Arema Cronus dan Persebaya Surabaya untuk
memenuhi permintaan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI).
Arema dan Persebaya dinilai bermasalah sehingga tidak
mendapatkan rekomendasi untuk ikut serta dalam ISL 2015. Kedua klub itu dinilai
BOPI masih terkendala masalah tiga aspek wajib, yakni kontrak kerja
profesional, dokumen keuangan, dan legalitas klub.
Lalu, pada Minggu (26/4/2015), PT Liga Indonesia
memutuskan untuk menghentikan sementara semua laga ISL dan Divisi Utama.
Penghentian itu terkait surat Menpora Imam Nahrawi mengenai larangan pemberian
izin keramaian polisi untuk semua kompetisi sepak bola di bawah koordinasi
PSSI.
kemudian, pada Senin (27/4/2015), Menpora menggelar rapat
bersama perwakilan 18 klub ISL. Namun, rapat itu mengalami deadlock karena
kedua kubu tidak menghasilkan kesepakatan terkait masalah induk penyelenggara
kompetisi.
Klub-klub ISL ingin melanjutkan kompetisi di bawah
naungan PSSI yang saat ini tengah dibekukan oleh pemerintah. Sementara itu,
Menpora menginginkan kompetisi tersebut dijalankan di bawah pihaknya melalui
tim transisi.
Pada Kamis (30/4/2015), Kemenpora meminta PSSI untuk
kembali menggulirkan kompetisi ISL paling lambat Minggu (9/5/2015). Namun, PSSI
memutuskan untuk tetap menghentikan kompetisi dengan alasan force majeure.
Kata orang, tak angin, tak ada hujan dan tak ada bencana,
kenapa kompetisi dalam kondisi force majeure. Para pendukung sepakbola melihat,
PSSI secara eksplisit ingin mengatakan bahwa, pemerintah, dalam hal ini
Menpora-lah yang menjadi pembawa "bencana" bagi sepakbola Indonesia.
Kita berharap, kompetisi tetap bisa berjalan kembali.
Sebab tak sedikit stakeholder yang menaruh harapan pada sepakbola. Bagi
sebagian orang ingin mendapat hiburan dari tribun stadion. Meski itu kompetisi
dikelola Kemenpora melalui "PSSI tandingannya" atau tim transisi.
Bagi kami yang awam, jika pun kemudian lahir "PSSI
Perjuangan" sebaiknya Indonesia Super League (ISL) itu jangan sampai
diganti nama menjadi Imam Nahrawi League (IHL). Sebab, suasana tribune penonton
akan menjadi riuh seperti di Emirates Stadium, pada Minggu (26/4/2015) saat
Arsenal meladeni Chelsea dalam lanjutan Liga Inggris.
Saat itu, suporter Arsenal meneriakkan chant 'boring
boring Chelsea' kepada tim racikan Jose Mourinho. Tentu kita, kita tak ingin
teriakan dari tribun penonton di SUGBK, Stadion Mahanan Solo, Jaka Baring,
Stadion H Dimurtaha Banda Aceh, Stadion Agusalim, Padang dan lain-lain akan
bernada sama, tapi diganti bunyinya 'boring boring Nahrawi'.
EmoticonEmoticon