ilustrasi via http://wpaperindonesia.blogspot.co.id |
"Saya kecewa sekali melihat
Aceh, tidak seperti yang aku bayangkan."
KALIMAT itu
masih mengiang-ngiang di daun telinga saya. Gaungnya, serasa bak suara kawanan
ribuan tawon yang terbang rendah mencari dahan buat bersarang. Padahal ucapan
itu sudah belasan tahun lalu diucapkan seorang mahasiswa culun di atas bukit
Gle Gapui, Pidie.
Di bawah
sebatang pohon rindang yang memayungi kami dari terik matahari, lelaki itu
"bernyanyi". Segala kekecewaannya melihat Aceh dia tumpahkan ke arah
saya. Terasa seperti sengatan sinar matahari yang membakar kulit. Panasnya
seakan ikut pula membuat rumput kering.
Akhir-akhir
ini, rudal memori saya selalu ke wajah dia. Meski nyaris 18 tahun silam. Saya
masih ingat. Siang itu, tubuh kurusnya, ---untuk tidak menyebut kerempeng--- di
balut baju berwarna putih, celana biru dongker, sepatu hitam.
Rambat ikalnya
tak awut-awutan. Rapi dan necis. Wajahnya terlihat putih, tapi tak seperti
orang yang baru sembuh sakit malaria. Orang Aceh bilang basoe.
Kala itu,
dia baru saja keluar dari salah satu ruangan di kampus Universitas Jabal
Ghafur. Saya tak ingat lagi fakultasnya apa? Nyaris tak terekam di memory card kepala saya. Tapi yang
paling tak bisa saya lupakan adalah, ya sebait kalimat pembuka di atas tadi.
Pria
langsing itu mengaku kecewa berat melihat Aceh. Sebagai daerah yang
dikaguminya, barangkali wajar bila dia kemudian “uring-uringan”. Lelaki itu
adalah Widodo. Saya juga tak ingat lagi, Widodo itu nama pertama atau kedua.
Jelas saya lupa berat nama lengkapnya, tapi yang paling gampang lengket diingatan
ya, Widodo itu.
Dari
lakabnya, kita sudah bisa menerka dia berasal dari mana. Saya tak tahu apakah
dia satu kampung dengan Widodo yang sekarang menjadi Presiden ketujuh di negeri
ini atau tidak. Entahlah. Karena nama
boleh sama, tapi peukateuen
(kelakuan) tentu beda.
Sebab, kala
1996 itu, sebelum memutuskan merantau ke Aceh, dia berharap di tanah Serambi
Makkah, menemukan "kenyamanan" batiniyah. Dia ingin mengisi rohaninya
dengan keluhuran ajaran Islam yang begitu kental di Aceh. Dia tahu, Aceh amat
kental menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Persis seperti
yang dia dengar dari kecil, tentang sejarah Aceh yang kesohor.
Widodo kecil
kadung tahu, Aceh itu pintu masuknya Islam ke Nusantara. Dia ingin belajar dan
"menyambut" langsung ajaran suci itu dari pintu masuknya. Namun,
apalah daya, dia melihat Aceh kala itu tak sesuai lagi dengan yang terekam dalam
memorinya; tentang daerah yang sudah terkikis nuansa religinya.
Sebelum
menginjak kakinya di tanah rencong, mungkin dari hati kecilnya, Widodo berpikir
--karena suasana kehidupan yang Islami itulah--- yang menuntun kakinya ke
daerah istimewa. Melihat fakta itu, praktis membuat pikirannya penuh kecewa.
Sebab Widodo tak menemukan Aceh seperti yang direkam sejak kecil. Nuansa Islam
tak seperti empat abad silam. Kalau memplesetkan bait lagu si Tegar, ---
pengemis kecil bersuara emas --- maka bunyinya jadi begini; Aceh yang dulu
bukan Aceh yang sekarang! Begitulah.
Usai
menumpahkan uneg-unegnya, Widodo pun pamit. Apalagi labi-labi -- moda
transportasi umum sejenis metro mini -- sudah menanti guna mengangkutnya menuruni
bukit Jabal Ghafur dengan penuh kecewa. "Assalamualaikum..." ucap Widodo sebelum badan
"langsingnya" menghilang ditelan labi-labi.
Sudah
belasan tahun saya mencerna makna dari kekecewaan itu.
EmoticonEmoticon