Rabu, 12 Oktober 2016

1 --- Widodo


ilustrasi via http://wpaperindonesia.blogspot.co.id

"Saya kecewa sekali melihat Aceh, tidak seperti yang aku bayangkan."

KALIMAT itu masih mengiang-ngiang di daun telinga saya. Gaungnya, serasa bak suara kawanan ribuan tawon yang terbang rendah mencari dahan buat bersarang. Padahal ucapan itu sudah belasan tahun lalu diucapkan seorang mahasiswa culun di atas bukit Gle Gapui, Pidie.   

Di bawah sebatang pohon rindang yang memayungi kami dari terik matahari, lelaki itu "bernyanyi". Segala kekecewaannya melihat Aceh dia tumpahkan ke arah saya. Terasa seperti sengatan sinar matahari yang membakar kulit. Panasnya seakan ikut pula membuat rumput kering.

Akhir-akhir ini, rudal memori saya selalu ke wajah dia. Meski nyaris 18 tahun silam. Saya masih ingat. Siang itu, tubuh kurusnya, ---untuk tidak menyebut kerempeng--- di balut baju berwarna putih, celana biru dongker, sepatu hitam. 

Rambat ikalnya tak awut-awutan. Rapi dan necis. Wajahnya terlihat putih, tapi tak seperti orang yang baru sembuh sakit malaria. Orang Aceh bilang basoe.

Kala itu, dia baru saja keluar dari salah satu ruangan di kampus Universitas Jabal Ghafur. Saya tak ingat lagi fakultasnya apa? Nyaris tak terekam di memory card kepala saya. Tapi yang paling tak bisa saya lupakan adalah, ya sebait kalimat pembuka di atas tadi.

Pria langsing itu mengaku kecewa berat melihat Aceh. Sebagai daerah yang dikaguminya, barangkali wajar bila dia kemudian “uring-uringan”. Lelaki itu adalah Widodo. Saya juga tak ingat lagi, Widodo itu nama pertama atau kedua. Jelas saya lupa berat nama lengkapnya, tapi yang paling gampang lengket diingatan ya, Widodo itu. 

Dari lakabnya, kita sudah bisa menerka dia berasal dari mana. Saya tak tahu apakah dia satu kampung dengan Widodo yang sekarang menjadi Presiden ketujuh di negeri ini atau tidak. Entahlah. Karena nama boleh sama, tapi peukateuen (kelakuan) tentu beda. 

Sebab, kala 1996 itu, sebelum memutuskan merantau ke Aceh, dia berharap di tanah Serambi Makkah, menemukan "kenyamanan" batiniyah. Dia ingin mengisi rohaninya dengan keluhuran ajaran Islam yang begitu kental di Aceh. Dia tahu, Aceh amat kental menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Persis seperti yang dia dengar dari kecil, tentang sejarah Aceh yang kesohor.

Widodo kecil kadung tahu, Aceh itu pintu masuknya Islam ke Nusantara. Dia ingin belajar dan "menyambut" langsung ajaran suci itu dari pintu masuknya. Namun, apalah daya, dia melihat Aceh kala itu tak sesuai lagi dengan yang terekam dalam memorinya; tentang daerah yang sudah terkikis nuansa religinya.

Sebelum menginjak kakinya di tanah rencong, mungkin dari hati kecilnya, Widodo berpikir --karena suasana kehidupan yang Islami itulah--- yang menuntun kakinya ke daerah istimewa. Melihat fakta itu, praktis membuat pikirannya penuh kecewa. 

Sebab Widodo tak menemukan Aceh seperti yang direkam sejak kecil. Nuansa Islam tak seperti empat abad silam. Kalau memplesetkan bait lagu si Tegar, --- pengemis kecil bersuara emas --- maka bunyinya jadi begini; Aceh yang dulu bukan Aceh yang sekarang! Begitulah. 

Usai menumpahkan uneg-unegnya, Widodo pun pamit. Apalagi labi-labi -- moda transportasi umum sejenis metro mini -- sudah menanti guna mengangkutnya menuruni bukit Jabal Ghafur dengan penuh kecewa. "Assalamualaikum..." ucap Widodo sebelum badan "langsingnya" menghilang ditelan labi-labi.

Sudah belasan tahun saya mencerna makna dari kekecewaan itu.  


EmoticonEmoticon