Rabu, 12 Oktober 2016

Menguak Tabir ‘Tas Hitam’ Hasan Tiro

MENGULAS sosok yang satu ini, kita seperti tak kehabisan kata menggulitinya. Fenomena yang terekam dari kehidupannya bak selimut di puncak gunung Seulawah. Membahas ide-idenya juga tak cukup satu meja, apalagi kalau cuma sekadar meja bundar. Begitulah dia hidup dalam imaji rakyat Aceh. Meski jasadnya sudah tiada, tapi ‘nafas’nya seakan masih terasa. 
 
Begitulah Teungku Hasan Muhammad di Tiro hidup. Siapa tokoh ini, saya pikir tak usah lagi kita ulas lebih detil. Apalagi tokoh yang disapa Wali itu sudah 62 hari pergi. Bicara figur militan itu, saya yakin semua orang sudah memahami, kecuali kalau ada yang tak mau tahu. 
Yang paling diketahui banyak orang sudah pasti, dia tokoh pemberontak, penggagas sebuah gerakan perlawanan dan ungkapan lain. Akan tetapi, dibalik semua itu, nyaris tak banyak orang ‘mengenal’ wataknya yang keras, disiplin, telaten, dan sarat wibawa. 
Semua pujian saya yakin selalu mengalir ke sosok pria kelahiran Tanjong Bungong, 25 September 1925 itu. Sebagai penulis, Hasan Tiro adalah contoh yang patut ditiru. Catatannya terdata rapi, gagasan dan idenya menjulang awan. Ketika orang lain baru berpikir, dia malah sudah berbuat, secara tersirat mungkin ini bisa kita lihat dari karyanya yang berjudul ‘Demokrasi Untuk Indonesia’. 
Dus, kekaguman pengikutnya, bukan pula pada unsur karena Hasan terlahir dari trah Tiro; klan pejuang yang membuat penjajah merinding. Tapi ada sisi lain—mungkin-- yang abai dipahami, pengikut, simpatisan dan orang-orang dekat. Itulah yang menambah kemisterian sampai menembus batas imaji. 
Padahal, Hasan Tiro itu adalah sosok yang sangat rapi dalam pendokumentasian. Bayangkan saja, ketika masih bergerilya pun dia mampu membuat catatan berupa stensilan, meski belum selesai. Namanya, The Price of Freedom; The Unfinished Diary of Teungku Hasan  di Tiro.Buku setebal 238 halaman terbit di London pada 1981.
Beranjak dari situ bukan mustahil, sejak dia cabut dari Aceh pada 29 Maret 1979, cukup banyak tulisan dan arsip-arsip yang disimpan rapi. Mungkin saja sudah ada yang hendak dia bukukan, tapi belum sampai, sama seperti cita-cita yang membentur damai. Atau bahkan ada catatan hariannya yang lain, tapi di mana? Sayangnya, sampai ayah Karim Tiro itu menghembus nafas terakhir, kita tidak tahu bagaimana nasib kertas-kertas usang itu.  
Berangkat dari rasa ingin tahu yang menyergap, tak ada salahnya kita juga melacak posisi dokumen yang dimaksud, dengan harapan ini bagian bukti sejarah tokoh besar Aceh abad 20. Sebab kita tahu, Hasan Tiro itu pelaku sejarah dan mungkin saja bisa kita sebut pencatat sejarah; minimal sejarah perjuangannya yang belum kelar.  
Kita tahu, kiprahnya memang acap dibalut kabut. Meski sudah tiada pun, ‘kegelapan’ itu masih tetap terasa walau kita tak bisa meraba. Tentu yang paling gampang kita sebut adalah, misteri perjuangannya hingga menggelinding damai, buah hatinya yang bernama Karim, serta ending dari catatan hariannya yang belum kelar. Jika kita menusuk lebih dalam, tentu saja, muncul pertanyaan yang seakan tak terjawab sampai sekarang.
Pertanyaan yang belum terjawab itu bisa kita baca ditulisan Neta S Pane dalam buku ‘Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka’. Mirai itu antara lain, kemana dana yang dikirimkan Daud Beureueh pada 1975 untuk membeli senjata. Lalu benarkan Daud Beureueh mendukung sosok cerdes Hasan Tiro untuk memproklamirkan Aceh merdeka dari Indonesia.
Singkat kata. Semua jawaban seakan tersimpan dalam tembok baja. Jika ditimang lagi, sampai detik-detik ajal berakhir, juga cukup banyak informasi berselerawan. Ada yang meniup seruling isu, dia sudah duluan menutup mata, sebelum kabar duka membahana di masyarakat. Kabar nan kabur itu tak berlebihan bila menguap. Sebab, semua mencuat karena popularitas Hasan Tiro. Bukan yang lain. Kalau mengutip kata bijak, hanya besar yang kerap diterpa badai. Begitulah sosok yang melagenda ini.
Sisi gelap belum tersingkap
Kekuatan tabir misteri itu, kian utuh setelah kepergiannya. Sebab banyak tanya belum terungkap. Di antaranya, kenapa orang bisa takzim di depannya, meski sebelum itu sudah pasang aksi sedikiti wibawa. Kenapa namanya agung dan disanjung ribuan pengikut. Atau karena aura yang melingkupi tokoh legesdaris ini amat kuat. Sayang, belum satu pun tersingkap.
Sama seperti belum tersibaknya, apa saja isi ‘tas hitam’ yang acap ditunjukkan Wali pada setiap tamu yang bertandang ke kamar 0075 Apartemen Alby Blok 11 Norsborg, Stockholm, Swedia. Kata sejumlah penulis yang sudah bersua langsung di kediamannya, Wali menyimpan dengan rapi setiap dokumen tentang Aceh, termasuk kliping Koran.  
Sejumlah sumber lain ikut berkisah, Wali juga masih menyimpan dengan aman sebuah mesin ketik tua, foto kakek dan foto cantik sang isteri saat muda serta gambar anak tunggal mereka. Tentu semua dokumen-dokumen itu masih tersimpan di dinding kamar dan almari rumah pria necis yang selalu berdasi dengan jas rapi.
Sepertinya, benda-benda koleksi Wali harus dimuseumkan. Ini penting, mengingat dan belajar dari beberapa tokoh di daerah lain yang dikultuskan pengikutnya. Bukan tidak mungkin akan muncul kolektor yang berhasrat mengoleksi benda yang pernah dipakai dan disimpan tokoh idolanya.
Salah satu yang patut dicermati adalah, isi ‘tas hitam’ Wali. Boleh jadi, ‘tas hitam’ ini akan menyibak misteri siapa Wali berikutnya yang direkomendir Hasan Tiro. Bila pun tidak, bisa pula bahwa hanya dirinya Wali terakhir. Setelah dimangkat, --kecuali keturunannya, maka yang lain belum berhak. Ini juga belum ada peunutoh. Dan banyak arsip-arsip lain soal Aceh yang sedikitnya bisa memberi pencerahan kepada masyarakat.
Belajar dari kasus lampau juga, ketika S.M. Kartosuwiryo yang berhasrat mendirikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat. Saat Kartosuwiryo mangkat, muncul kabar, yang mengklaim dirinyalah pemegang mandat untuk melanjutkan perjuangannya. Sama seperti halnya Hasan tiro, apakah tongkat estafet gerakan perjuangan yang dicetusnya sudah ada ‘diwariskan’? Kepada siapa, Karim Tiro atau yang lain? Ini belum terjawab.
Dan banyak hal penting lagi yang mesti diketahui publik, baik pendukungnya yang tak berhenti menyanjung atau orang kampung yang penuh kagum. Sepertinya orang juga tak ragu lagi kalau bicara komitmennya tentang perdamaian.
Lalu, betapa urgensinya black bag itu? Saya pikir ini sama mahalnya dengan black box milik pesawat terbang. Untuk mendapat jawaban kenapa ‘burung besi’ naas, cuma dengan menemukan kotak hitam itu, baru misteri tersingkap. Sebenarnya tak jauh beda pula dengan blag bag Wali.
Namanya memang hitam, tapi sebenarnya kotak yang dimaksud itu berwarna jingga atau oranye. Begitu juga dengan ‘tas hitam’ Wali, warnanya tidak hitam, tapi coklat tua. Dan ada seperti tas komputer jinjing. Penting black bag itu dibuka guna menjawab kemisteriusan yang melilit selama ini. Salah satunya, kenapa tidak sembarang orang bisa menjumpainya? Termasuk kabar kematiannya, bagaimana dia menanggapi serta tanggapan dia terhadap tentara-tentaranya yang terus berperang sebelum damai datang. Banyak yang yakin black bag itu menyimpan banyak catatan peristiwa perjalanan hidupnya. Termasuk yang kita terka-terka tadi.
Pada sisi lain, pendukung dan simpatisan fanatiknya pun, tidak terus dihinggapi rasa, itu dan ini Peunutoh Wali. Jika yang bersangkutan masih hidup, tentu peunutoh masih berlaku. Tapi ketika dia sudah mangkat, tentu akan akan ada yang namanya Wasiet Wali.
Dari mana orang tahu bahwa itu, peunutoh atau wasiet wali? Sekali lagi sulit menjawabnya. Tapi dengan membuka ‘tas hitam’ dengan segala makna, paling tidak kita bisa mencerna manasaja pusakanya. Memang membuka ‘tas hitam’ tak segampang membaca kotak hitam.
Kendati, isi yang kita lihat dan terima tak sesuai harapan, itu bukan problem. Namun, yang paling penting adalah, informasinya berguna bagi Aceh dan dunia. Seperti bergunanya cinta di mata bening Dora bagi Hasan Tiro yang fotonya menghias dinding rumah. Dengan cintanya pula, Hasan Tiro menduniakan Aceh.
Pun begitu, kita berharap isi ‘tas hitam’ tersebut bisa pula terdokumentai dengan rapi. Seperti kompilasi tulisan soal Wali yang bisa kita baca dalam buku ’Hasan Tiro, The Unfinished Story of Aceh’ yang diterbitkan Bandar Publishing, Banda Aceh dan diluncurkan serta diskusi pada Minggu (1/8) lalu.
Semua sikap; baik kagum atawa tidak, semua terungkap dalam coretan 44 penulis yang terdiri dari beragam unsur, mulai dari jurnalis, pengamat, akademisi, aktivis, hingga usahawan. Ini memang ditulis orang luar lingkaran, sehingga menarik kita tunggu coretan ‘orang dalam’ yang dekat dengan sang legenda.
Dalam diskusi itu juga mencuat soal ‘tas hitam’ tersebut. Sehingga menarik kita tunggu opisode Wali yang lain. Syukur, jika topiknya isi ‘tas hitam’ serta pemikiran yang belum diketahui khalayak dari tokoh yang dikultuskan pengikutnya. Dengan harapan semoga ‘tas hitam’ itu membuka tabir yang selama ini sedikit sumir.

Tulisan ini sudah pernah dimuat 
di rubrik OPINI Harian Serambi Indonesia
pada 4/8/2010


EmoticonEmoticon