Rabu, 12 Oktober 2016

2 --- Joko Widodo


ilustrasi via liputan6

"Aceh itu kampung saya..."

BEGITU sepotong kalimat yang dipajang pada sebuah baliho di perempatan jalan dekat sebuah masjid di Banda Aceh. Baliho besar itu dominan warna merah. Ada gambar wajah dua tokoh di sana. Joko Widodo dan Jusuf Kalla. 

Nah, yang menarik bagi saya tentu nama pertama; Joko Widodo. Sejak awal saya begitu yakin, orang pertama yang ada nama depan Joko-nya tak saling terkait dengan Widodo sebelumnya. Meski, mereka sama-sama punya nama serupa, tapi guratan tangan atau garis nasib jelas berbeda.

Kenapa saya tidak sebut Joko, dan lebih memilih nama keduanya; Widodo. Lazimnya mereka yang bermukim di "Barat" --- mungkin karena saya tinggal di Provinsi paling barat di Negeri ini--- terbiasa memanggil nama yang kedua. Contoh: Husni Mubarak, kami panggilnya Mubarak. Kalau Barrack Obama, dipanggil tetap Obama, Hasan Tiro di sana tak dipanggil Hasan, tapi Tiro. Begitulah seterusnya.

Nah, Widodo yang kedua ini “toke kayu”. Dia pengusaha mebel yang kemudian “tergoda” terjun ke politik. Karena itulah, maka dia kemudian menjadi Walikota Solo. Di Surakarta dia adalah idola; sederhana, suka beranjangsana alias blusukan menemui rakyat. 

Berhasil di Solo, Widodo yang lebih popular dengan nama Jokowi ini menjadi gubernur, tapi bukan gubernur di Jawa Tengah. Dia malah sukses menjadi Gubernur di Ibukota Negara pula; Jakarta. Pasti ini perjalanan karier yang luar biasa. Setelah itu, ternyata gebrakan politiknya belum selesai.

Jika di Solo belum tuntas jabatan di periode kedua, maka saat memimpin warga Betawi, dia lebih cepat naik pangkat lagi. Tugas di Jakarta belum tuntas, beban besar lain sudah dipundak. Seperti kita tahu, kini Jokowi resmi menanjak dalam karir politiknya. Dia sudah menjadi orang nomor satu di negeri ini.  

Meraih kursi presiden bukan perkara mudah. Sulit bin susah. Bahkan ada politisi yang berkali-kali ikut suksesi, hingga besok tak jadi-jadi. Lain dengan Jokowi, sekali pasang diri, langsung melenggang ke Istana yang diimpikan semua pelakon politik.

Ada yang menarik sebenarnya bila kita merunut pada perjalanan nasib tokoh ini. Sebelumnya Jokowi adalah pegawai kecil dan pengusaha, lalu menjadi walikota, kemudian menjadi seorang gubernur hingga kemudian mencapai puncaknya di kursi Presiden. 

Memang, sebelum sebagai gubernur, dia sudah mahir memimpin rakyat di tingkat kabupaten atau kota. Untuk duduk di kursi presiden, Jokowi tak perlu melangkahi dulu kursi menteri, seperti presiden sebelumnya. Kariernya memang apik. 

Melihat rekam jejak di pemerintahan, timbul pertanyaan iseng saya; kira-kira dia dulu, Jokowi  pernah nggak jadi lurah sebelum menjadi camat dan kemudian duduk di kursi Walikota. Jika iya, maka sempurnalah jenjang kariernya sebagai “birokrat” yang dimulai dari bawah. 

Barangkali, jika kita tamsilkan dengan bahasa awam, dari kopral hingga jenderal sudah dirasakannya. Semua bersyukur saat Joko Widodo yang sederhana itu menjadi orang nomor wahid di negeri ini. Dia juga akan dicatat sebagai presiden yang punya karir merangkak dari bawah. Kesederhanaanlah yang berbuah kemuliaan. 

Mengomentari nasib Jokowi, orang Aceh pasti bilang dia itu meutuah tuboh (mulia badan). Apalagi lelaki ini punya niat tulus meski bertubuh kurus. Di sayangi semua orang, termasuk media dan wartawan. Tak jarang dia dikultuskan bak pelatih sepakbola yang baru saja memenangi Piala Dunia.

Begitulah perlakuan banyak kalangan untuk pria yang kabarnya  pernah berdinas di Aceh Tengah itu. Tapi kita tak melihat bagaimana ekspresinya, saat tahu di "kampung" sendiri dia kalah dalam "kanduri" Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu. Apakah dia juga ikut kecewa seperti Widodo dari bukit Jabal Ghafur itu? Homhai.

Kalau pun kecewa, tentu kita berharap jangan sampai tanoh Aceh ikut menerima imbas. Kita pun berharap, jika terpaksa harus kecewa, jangan sampai membuatnya menganaktirikan Aceh. Tentu kita berharap tak perlu ada airmata yang menetes menangisi Aceh. 

Kita barangkali ingin melihat ‘keringat’ Jokowi dalam bekerja membangun negeri ini, tanpa melihat provinsi mana yang menjadi lumbung suaranya pada masa pemilihan presiden dulu. Tugas beratnya adalah menata Indonesia dengan segala kesumpekannya. Membangun Aceh dengan segala keanehan dan keunikannya. Sebab dari kebhinnekaan itulah yang membuat cikal bakal Nusantara ini menjadi Indonesia. 

Bayangkan jika Indonesia ini kita tamsilkan bak sebuah taman. Bila semuanya isinya adalah bunga kamboja, suasana kuburanlah yang terasa. Namun, saat “taman” Indonesia ini diisi dengan bungoeng Jeumpa, melati, anggrek, bunga bangkai, sampai sedap malam, tentu lebih sedap dipandang mata. [a]

This Is The Newest Post

1 komentar so far


EmoticonEmoticon