Ilustrasi Masjid |
MUMPUNG ini bulan suci
Ramadan, tak ada salahnya saya sedikit mengelitik optik saraf pikir kita. Bukan
bermaksud berkhutbah, apalah mengajari. Tapi, saya pikir ini benar-benar harus
kita cermati, syukur kalau kemudian menjadi ikhtibar bagi kita semua.
Saat membaca koran ini,
mungkin saja Anda baru selesai Salat Subuh, atau sudah kelar Salat Dzuha.
Alhamdulillah sekali, jika itu yang kita lakukan selama Ramadan. Berlomba-lombalah dalam mengerjakan amal saleh.
Dan masjid menjadi satu-satu pusat konsentrasi kaum muslimin dalam berubudiah
kepada Allah Swt.
Bicara soal masjid sebagai rumah
Allah, banyak ’perkara’ yang menggelitik otak waras saya. Dari berbagai
literatur yang saya ’baca’ baik tersirat maupun tersurat, di Aceh memang cukup banyak
masjid. Sampai-sampai ada yang menjulukinya sebagai daerah seribu masjid.
Setahu saya, Istanbul di
Turki sana, juga paling layak dijuluki Kota Seribu Masjid. Negera yang terletak di dua benua antara Asia dan
Eropa, itu tidak hanya terdiri dari beragam masjid yang cantik dan indah-indah.
Akan tetapi Istanbul punya kekayaan budaya dan sejarah yang memukau. Zaman Romawi, kota ini disebut dengan Konstantinopel,
namun namanya berganti setelah Kekaisaran Ottoman menaklukan kota ini.
Masjid indah, berbagai
peninggalan Romawi dan masa kekaisaran Ottoman, seakan tersusun indah dan rapi
membentuk kota Istanbul. Kabarnya, Istanbul sengaja membuat satu tempat yang
dikenal dengan Old City, sebagai sebuah situs sejarah yang dilestarikan.
Masjid Bersejarah
Mengulik soal sejarah, saya
percaya masjid-masjid di Aceh juga tak kurang kental nuansa ini. Memang harus
diakui banyak rumah Allah di Aceh yang sarat nilai historisnya. Namun yang disaksikan
generasi muda sekarang, malah sebaliknya. Hanya ada secuil masjid kita yang
sejarahnya diketahui anak zaman kini. Itu pun berdasarkan cerita turun temurun.
Kita contohi saja, Masjid
Raya Baiturrahman, Masjid Tgk Syik Dianjong, Peulanggahan, Banda Aceh. Masjid
Indrapurwa, yang kini tak lagi berbekas setelah digerus tsunami. Lalu, ada
Masjid Indrapuri di Aceh Besar, Masjid Tgk Syik Dipasi, Pidie. Ini cuma bahagian
kecil saja. Cukup banyak masjid-masjid lain yang menyimpan ceritanya sendiri.
Kalau kita tulis tak cukup halaman koran ini.
Selain menyimpan kisah
beragam, saya yakin hampir semua kabupaten dan kota di tanoh Aceh ini punya
masjid dengan kualitas sejarah berbeda-beda. Baik itu karena dibangun oleh
ulama-ulama terkenal, atau bahkan inisiatif dari kaum muslim sendiri masa pergolakan
atau era penjajahan.
Lalu, pada era mutakhir kini,
sejumlah masjid di Aceh juga mengalami fenomena yang spektakuler. Bagaimana
tidak, cukup banyak masjid yang selamat dari terjangan gelombang gergasi;
tsunami. Dia masih kokoh, meski sudah
ada sebagian kecil renovasi di sana-sini. Tapi, dia bisa dibilang mencatat sejarah baru
bagi masjid-masjid di Aceh.
Karena itu, tak mengherankan,
jika tempat ibadah ini, amat potensial juga untuk dikembangkan menjadi tempat wisata
relegius. Apalagi situs-situsnya berserak seantero Nanggroe Aceh Darussalam. Tapi
sayang tak ada direktori yang menshahihkan itu. Jika ada sebuah buku yang memuat
seluruh daftar nama masjid, tidak termasuk musala tentunya, maka akan
lengkaplah julukan daerah Serambi Mekah.
Selain nama dan alamat
masjid, juga tercantum fasilitas, kegiatan, arsitektur bangunan, dan
sejarahnya. Tentunya, dilengkapi pula foto-foto masjid yang dinilai memiliki
nilai sejarah tinggi. Misalnya, kisah Tgk Syik Dianjong, atau Masjid Raya
Baiturrahman. Tapi jangan masukkan pula acara-acara semacam deklarasi ini itu
yang acap digelar di masjid raya.
Namun mampukah elemen
terkait mengelolanya? Ini sulit mendapatkan jawaban. Karena –-boleh jadi-- ada
oknum-oknum tertentu yang menjadi pengurus, bukannya memakmurkan masjid, tapi
sebaliknya; mencari kemakmuran pribadi di masjid.
Sebagai daerah basis muslim,
rasanya miris juga jika kita mengingat ’nasib’ masjid-masjid di sini. Kendati
’mengoleksi’ banyak masjid dengan nuansa penuh sejarah, tapi hanya sedikit saja
yang menjadi tempat indah nan teduh untuk disambangi.
Beda dengan yang lihat di Masjid
Kubah Emas di Depok, Jawa Barat. Bagi warga Kota Kembang, Jakarta dan daerah
sekitarnya, mengunjungi masjid Kubah Emas memberi nuansa yang berbeda, terutama
untuk berwisata relegius.
Pengunjungnya tak
tanggung-tanggung. Setiap akhir pekan, masjid itu, selalu ramai dikunjungi
orang. Bus-bus wisata besar dari luar daerah banyak yang datang ke masjid megah
ini. Makanya, jalan menuju ke arah masjid ini pun sudah macet sejak pagi hari. Banyak
pengunjung yang terpesona dan terkagum-kagum melihat kemegahan masjid itu.
Nama sebenarnya adalah Masjid
Dian Al Mahri. Kubahnya dilapisi emas 24 karat, karena itulah masjid ini
terkenal dengan sebutan Masjid Kubah Emas. Masjid ini tepatnya berdiri di Jalan
Meruyung, Kelurahan Limo, Kecamatan Cinere, Depok.
Masjid yang dibangun pada
1999 ini memang sangat megah. Luas bangunan masjid milik Hajjah Dian Djurian
Maimun Al Rasyid ini 8.000 meter persegi. Sementara lahannya seluas 70 hektare.
Arsitekturnya, secara umum mengikuti masjid di Timur Tengah.
Yang amat menonjol dari
masjid ini, tentu saja kubahnya yang dilapisi emas. Selain satu kubah utama
yang besar, ada empat kubah kecil yang mengelilinginya, semua dilapisi emas.
Kubah berjumlah lima malambangkan rukun Islam. Kemudian juga ada enam menara
yang menjulang setinggi 40 meter. Puncak menara dihiasi kubah kecil, yang juga
dilapisi emas. Soal jumlah menara yakni enam itu melambangkan rukun iman.
Kemegahan masjid ini juga
didukung dengan taman yang mengelilinginya yang ditata apik dan rapi.
Warna-warni bunga bougenvil dan adenium membuat segar dan cantik masjid. Daya
tarik masjid itu, sudah pasti pada kubahnya yang berkilau.
Masjid Kita
Melihat masjid Kubah Emas
itu, sekilas saya teringat dengan masjid Lampriet yang sudah selesai dibangun
atas bantuan sebuah negera Timur Tengah. Keberadaannya sungguh megah, meski dia
tak berkubah emas. View-nya pun amat menarik bila dijepret para
fotografer buat hiasan kalender.
Bukan hanya Masjid Al-Makmur
itu saja, banyak lokasi lain tak memberi nuansa teduh dan indah bagi
pengunjungnya. Bagaimana tidak, mayoritas masjid-masjid kita di Aceh kurang
dikelola dengan baik. Jangankan berharap dihiasi taman-taman dan penghijauan, untuk
soal kecil saja tak bisa diurus.
Sekilas, masalah cilik ini
memang ringan, apalagi kalau bukan soal kamar kecil. Bicara toilet dan tempat
wudhuk di masjid-masjid kita, seakan dipusingkan dengan bau pesing (bee
chueng). Bukan cuma karena banyak dihiasai ’karat’, akan tetapi jorok dan
kotor juga. Ini memang memiriskan. Sampai-sampai, bila kita mampir hendak buang
air kecil, bukan air yang keluar. Namun, yang hendak keluar pun malah masuk
lagi.
Ini memang soal sepele. Tapi
masalah yang ditimbulkan kemudian amat besar. Selain terbangun image tak
bersih, juga terkesan tak ada yang gubris. Kita bisa menerka berapa persen
masjid-masjid kita yang selalu menjaga kebersihan kamar kecilnya. Kotor dan
jorok seakan-akan sudah menjadi ciri khasnya. Sungguh memalukan. Padahal ini
fasilitas umum, yang acapkali dipakai orang yang mampir dari berbagai
pejuru.
Mungkin, janganlah kita terlalu
jauh bercerita, soal halaman masjid yang indah, asri, teduh penuh tanaman. Ini
langka. Kalau mau yang gersang banyak. Tapi yang muncul sekarang adalah
fenomena mendirikan masjid yang megah di mana-mana. Bahkan, cukup banyak masjid
yang kategorinya ’kecil’ dan masih bisa dipakai untuk beribadah, malahan dirombak
dan desain ulang, sehingga menjadi luas dan lebar.
Sementara ada masjid yang
sudah ’mapan’, tapi masih pula direnovasi dengan dalil mempercantik dan
sebagainya. Semua berlomba-lomba, sampai-sampai di satu kemukiman ada tiga masjid,
belum termasuk meunasah.
Ini terjadi, karena ada klaim
kepemilikan rumah ibadah, mulai dari milik keluarga, sampai milik kemukiman hingga
punya pemerintah. Memang,
membanggakan jika kita mendirikan banyak rumah Allah. Namun, sejatinya tidak menjadikan itu untuk bahan
’koleksi’ saja. Pasalnya, kehadiran jamaah juga
tak sebanding dengan luas masjid itu sendiri. Kita bisa lihat, kapan masjid itu
penuh sesak, kalau bukan saat Salat Jumat saja.
Sementara Magrib dan Shubuh,
masjid kosong. Kalau Magribnya ada tiga shaf, maka Shubuh lebih maju lagi. Ada
tiga atau dua orang; tgk imam, muazzin, dan bileue. Lalu timbul
pertanyaan, kalau kondisi seperti ini, kenapa kita mesti berlomba-lomba dengan bangunan
megah?
Padahal yang harus kita
bangun dan perbaiki adalah akidah dan mempertebal keimanan umat yang
sudah keropos. Melihat fenomena ini, lembaga berwenang pun laksana macan
ompong. Tidak menyerukan apapun. Misalnya, meminta para panitianya bersabar
dulu, jangan berlomba-lomba ’mengoleksi’ masjid, disaat umat makin jauh dari
rumah Tuhan.
Sebab hakikat membangun rumah
ibadah, bukan karena mempertaruhkan gengsi antar kampung. Tapi bagaimana memenuhi
kebutuhan umat dalam beribadah. Karena, jangan kita lihat saat Salat Jumat dan Idul Adha, tapi tengok juga
seusai Magrib dan Insya. Berapa shaf jamaah masjid kita?
Opini ini sudah dimuat di Serambi Indonesia
EmoticonEmoticon