ilustrasi via Greeners.co |
MENYUSURI Kota
Banda Aceh akhir-akhir ini, kita bagai sedang menikmati secangkir sanger di
pojok Ulee Kareng. Lamban tapi pasti, pembenahan kota mulai terasa. ‘Kota
Tsunami’ yang dulu meuleuhob (berlumpur), kini sedikit teratur. Terutama
di beberapa ruas.
Makanya,
tak mengherankan jika usai dihayak gelombang maut empat tahun silam, kini sudah
terlihat ‘jernih’, meski ada kekumuhan yang tak mengenakkan. Memang, kesannya,
seakan persoalan itu klasik. Tapi jangan sampai membuat kita terus asyik.
Bila
memori kita putar sebentar keempat abad silam, kota tua yang dibelah Krueng
Aceh itu, tidak seperti ini. Sudah pasti. Apalagi saat para saudagar belahan
dunia berniaga rempah-rempah ke Kerajaan Aceh. Kabarnya, kekosmopolitanannya
sangat kentara. Pasalnya, para pedagang yang singgah dari berbagai negara
itulah yang membuat pelabuhan laut sibuk.
Menurut
Karel Frederik Hendrik van Langen dalam buku ”Inrichting van het Atjehsche
staatsbestuur onder het sultanaat” yang ditulis sekitar tahun 1886
disebutkan, pada masa Kerajaan Aceh berbagai bangsa di dunia, berniaga ke
wilayah tersebut.
Pada buku
yang dalam bahasa Indonesianya berarti, “Susunan Pemerintahan Aceh Semasa
Kesultanan” K.F.H van Langen menyebutkan orang Arab, Benggali, Melaya dan Jawa,
masuk ke Aceh dalam berbagai urusan.
Kabarnya,
ketika kesultanan masih bertahta, Aceh sudah tergolong sebuah kawasan
kosmopolit. Ini terbukti dengan banyaknya masuk bangsa-bangsa di dunia ke Aceh,
seperti disebutkan pejabat sipil Belanda yang berkuasa di Kutaraja saat itu.
Gampong
Global
Ini
artinya, sejak zaman dulu, Kutaraja, kini Banda Aceh sudah aktif dalam
pergaulan internasional. Jejak sejarah lain yang
masih tersisa juga sudah membumi di Aceh. Simak saja gampong-gampung Aceh
seperti Lamno, Bitai, Peulanggahan, Jurong Kleng, Gigieng serta Eumperom dan
lainnya.
Bukan cuma
itu, di kota kerajaan ini banyak juga kita jumpai komunitas berbagai bangsa,
seperti kampung Cina, Portugis, Gujarat, Arab, Pegu, Benggali dan Eropah
lainnya. Ketika itu, wilayah di bibir laut ini, benar-benar sebuah kota
kosmopolitan yang berkarakter internasional.
Denys
Lombard dalam buku ’Kerajaan Aceh’ menulis, pada masa itu orang Aceh juga telah
menguasai pembuatan dan pengecoran meriam. Orang Aceh juga mendapatkan ilmu
pembuatan meriam ini dari orang Tionghoa.
Dari
fakta itulah, kita bisa menerka, Aceh juga menjadi tempat transit atau bertemu
dan bercampurnya berbagai bangsa yang ikut membentuk identitas orang Aceh
kekinian. Dengan pengaruh itulah, hidup sifat keterbukaan terhadap dunia luar,
kosmopolitan, ragam etnis, toleran serta terbuka dengan anasir baru.
Kehadiran
’kembali’ multibangsa di dunia ke tanoh Aceh, bagai ingin menonjolkan reinkarnasi
cerita kosmopolitan masa silam. Kendati, mereka datang bukan berniaga, tapi lebih
pada upaya sosial menyapu air mata kita yang memburai usai diaduk gempa dan
tsunami.
Seusai
bencana itu, Aceh seakan kembali ke zaman kosmopolit, di mana banyak bangsa dan
ras bekerja dengan tentram. Modal pasca rehab-rekon juga memungkinkan kita
untuk membuka kembali buku tamu agar banyak catatan dari para pendatang.
Kini, fasilitasnya
sudah tersedia. Salah satu, hadirnya Bandara internasional Sultan Iskandar Muda
(SIM) Blang Bintang di Aceh Besar. Bandara SIM juga memberi makna tersendiri.
Bandara yang menghabiskan anggaran Rp330 miliar, memiliki landasan pacu sepanjang
3.000 meter. Lebar apron dari 23.424 meter persegi menjadi 69.591 meter persegi.
Begitu juga dengan sejumlah pelabuhan laut bertaraf internasional.
Bukan
cuma sekadar bandara, sarana lain juga tak kalah baiknya, ada pelabuhan laut,
prasarana darat yang mulai membaik. Dengan kondisi bandara seperti itu, optimis
akan mampu menggiring Aceh lebih maju.
Tapi,
semua itu tergantung kita. Mau atau tidak, kita maju bersama warga dunia. Tentu
saja ketika kita punya modal yang kuat berupa fasilitas yang memadai, bukan tak
mungkin itu akan membawa Banda Aceh menjadi ’gampong’ global.
Kenapa gampong? Kesannya mungkin melecehkan. Tak
berlebihan rasanya, jika saya melakabkan itu. Saya melihat ada ’kecelakaan
budaya’ yang nyaris mendarah daging di nanggroe kita. Ya, di kota kita ini. Kita
sebagai bagian dari warga dunia, sepertinya tidak siap untuk menuju ke sana.
Tak perlu mengulas perkara yang muluk-muluk, misalnya
dari sisi pelayanan publik yang maksimal bagi warganya, atau kinerja aparatur
pemerintahan. Saya lebih melihat dari
segi ketertiban saja.
Aturan dibuat untuk dilanggar. Apakah salah pembuat aturan atau warganya yang miskin
kesadaran?
Berwajah Desa
Lihat
saja begitu kota ditata dengan pola yang sedikit mengglobal, tapi kita malah
menemukan nuansa gampong di sekitarnya. Sejatinya, meski tinggal di gampong,
kesan rapi, asri, dan bersih tetap terpelihara. Jangan karena alasan tinggal di
pelosok, lantas membuat kita hidup jorok.
Atas
dasar itulah, jujur saja, saya risau melihat bangunan-bangunan megah bin mewah
yang akhir-akhir ini terpacak. Kerisauan itu rasanya cukup beralasan. Ketika
kita mendapati banyak kekumuhan dan kekampungan yang tak elok di mata. Jadi tak salah, jika ada yang mengatakan gampong ini bak
’kota berwajah desa’.
Kekumuhan terjadi di mana-mana. Sementara pada sisi lain,
penguasanya ingin memoles kota dengan gaya moderen (baca: global). Namun, pada
tempo yang lain tak menyiapkan warganya untuk siap menerima perubahan itu. Bisa
dilihat dengan minimnya sosialisasi ke masyarakat.
Kekumuhan
itulah yang seharusnya segera diberantas pemerintah kota. Apalagi nyaris setiap
ruas jalan selalu ditimpangi dengan kios-kios kecil yang bukan saja merusak ’suasana’,
tapi paling tidak teratur. Bisa sesuka mereka saja.
Sehingga memberi kesan kota ini tanpa aturan.
Keberadaan
kios ini, terkadang memang membawa manfaat bagi rakyat kecil. Tapi pada sisi
lain, pemerintah menertibkan mereka, agar idak serampangan memasang dan
berjualan, apalagi sampai memakan lahan parkir. Ini pula yang ‘merusak’ pemandangan kota yang sedang berbenah ini.
Kondisi ini bisa kita
saksikan sepanjang ruas jalan di Banda Aceh. Kesannya, jika tanpa kios kayaknya
bukan Kutaraja eh Banda Aceh namanya. Tapi
syukur, belakangan pemerintah kota sudah mulai menindak tegas prilaku ini.
Semoga tindakan tegas ini kontinue dan tanpa pandang bulu.
Begitu
pula dengan ulah para pedagang buah, yang memacak mobil seenaknya di ruas
jalan-alan protokol. Mereka bukan cuma menyerobot lahan parkir, juga menambah beban
para petugas kebersihan. Kalau bersih, rapi, teratur, tidak amburadul mungkin
masih bisa kita amini dalam batas toleransi.
Tapi,
yang terjadi malah sebaliknya. Selain mereka seenaknya saja, juga kurang peduli
dengan kebersihkan. Tapi belakangan ini, kayaknya Walikota sukses menggeser itu
dari pusat-pusat strategis. Ini mungkin langkah berat, tapi daripada memberi
kesan miris, itu pilihan paling akhir.
Selesai itu, muncul pula problem lain yang tak kalah
pusingnya. Itu tak lain dengan munculnya, puluhan tenda di setiap ruas jalan. Tenda
pulsa ini, pada satu sisi upaya membantu sebagian mereka mencari income
sampingan. Pada sisi lain, mereka juga terkadang, ’berkemah’ sembarangan.
Asalkan sedikit lapang, langsung main pasang, tanpa menghiraukan sempit atau
menganggu tidak orang lain.
Terkadang, sialnya lagi, tenda-tenda itu ditumpuk begitu
saja di atas median jalan, sampai-sampai rumput pun tak ada ruang buat bernafas.
Memang, itu semacam simalakama bagi siapa saja yang menjadi walikota. Bagaimana
tidak, pada saat lapangan kerja sempit, warga tak punya pilihan lain, kecuali berdagang
dan berdagang. [a ]
Tulisan ini sudah pernah dimuat
di Rubrik Opini Harian Serambi Indonesia
EmoticonEmoticon