Selasa, 11 Oktober 2016

Kakofoni Polem Ali


Ilustrasi

POLEM Ali dan Polem Reuman kembali berdebat di rangkang blang desanya. Debat kusir ini berawal dari berita pemerintah kembali menerima 325 ribu abdi Negara yang bahasa kerennya pegawai negeri, (baca Harian Aceh, Jumat 25/9/09)

Seperti biasa, seusai pulang dari kebun, mereka singgah sejenak rehat di tempat favorit itu. Keduanya tidak berada di keude kupi atawa cafe bergengsi. Paling banter di rangkang itulah mereka berkeluh kesah.

Kali ini, yang menggelitik keduanya tak lain, ya masalah itu tadi; abdi negara. Kedua polem itu menolak frasa pegawai negeri. Dalam kamus awam keduanya, kehidupan pegawai negeri terlalu enak sekali. Padahal mereka tak lain pengabdi. Ya, mengabdi pada negara. Atas pengabdian itu, mereka pantas menerima segepok duit hasil jerih payah.

Dengan menerima gaji itulah mereka ‘berkewajiban’ melayani masyarakat. Mulai dari yang melarat sampai yang berpangkat. Mulai dari yang berjalan kaki, sampai naik merci. Semuanya harus diberi pelayanan sama, jika mereka berurusan di kantor-kantor pemerintahan.  

Kenapa melayani rakyat? karena memang itu tugas mereka. Apalagi gajinya juga dibayar negara dari uang rakyat. Bukankah, negara mengutip pajak dari rakyat? Hasil pajak itulah yang kemudian, sebagian dipakai untuk membayar gaji abdi negara. Singkat kata, mereka makan gaji dari rakyat juga.

Mengingat hal itulah yang membuat petani plus nelayan ini cang panah poh beurakah. Kalau pun itu menyindir ataupun mengejek orang lain, itu urusan seratus dua fulus, kata Polem Ali yang sengaja mengeja puluh dengan fulus.

Keduanya sudah sepakat peh canang sambil poh cakra di bale blang. Mereka mengaku tak takut istri cemberut bila pulang tidak membawa eungkot meunuloh kesukaan masing-masing peurumoh. Karena sudah ada stok sembako plus banyak fulus yang cukup untuk lima hari.

Polem Ali mengaku bukan benci dengan para abdi. Malahan, dia juga punya besan yang pegawai negeri. Tapi, dia ingin melakukan banyak koreksi untuk kelompok ini. Mulai dari perilaku, hingga isu yang mengepul korupsi. Kemudian, persoalan lain lagi yang juga berselemak kolusi.

Protes
Polem Reuman pun ikut-ikutan. Dia mengaku protes kepada negara. Protes itu dalam diam. Katanya, dia malas jika harus berdemontrasi, apalagi sampai harus jo-jo gateh dengan polisi. Untuk melakukan protes itulah, dia acapkali mengajak Polem Ali adu argumentasi di bale blang. Mulai dari bagi rukok on, kupi, sampai berbagi isi hati. Sudah pasti mengharamkan berbagi istri.

Menurutnya, negara ini keblablasan dan suka pemborosan. Khusus mengkritisi para abdi, kedua Polem ini ingin bertanya kenapa memberi lagi uang pensiuan kepada orang yang memang sudah sejak awal berniat mengabdi. Ini salah kaprah. Pasalnya, selain setiap bulan mereka sudah digaji, ke sana kemari pun dibiayai. Lalu, setiap ada proyek dapat komisi, belum lagi dapat uang ‘administrasi’, ditambah pula upeti yang ’dimasak’ dengan bumbu korupsi.

Praktis, inilah yang membuat kedua Polem ini merasa tak nyaman, dan merasa tak dihargai sebagai warga negara. Memang, kerja seperti petani dan nelayan tidak membawa banyak perubahan. Namun, meski semua itu sudah diatur Tuhan, Polem Ali dan Reuman hanya bisa berserah diri, pada satu sisi. Pada sisi lain, keduanya ingin ’menggugat’ negara dengan banyak alasan.

Salah satunya, soal pesangon hari tua untuk pegawai negeri. Kata Polem Ali, seharusnya mereka (baca; PNS) tak perlu lagi dipasok ’subsidi’ hari tua. Akan tetapi juga diberi gaji tinggi sesuai dengan kerja dan prestasi.

Alasannya, apalagi kalau bukan faktor kerja. Kalau seperti ini, kenapa mereka harus pula mendapat banyak uang terima kasih. Kalau ada yang tak setuju, langkahi dulu mayat, eh pendapat Polem Ali.

Polem Reuman pun berasumsi. Kalau pun ada masyarakat yang bikin urusan, juga harus mengeluarkan sedikit pelicin berupa dana administrasi biar urusan lancar. Kalau tidak, ya, Anda tahu sendiri. Tapi, syukurlah, kalau sekarang mulai dihilangkan budaya itu.  

Lantas, jika dibilang mereka sudah bekerja pontang-panting, ini malah betul-betul harus segera diralat. Kalau mau dikalkulasi, dari jam kerja saja, mereka saban hari ’korupsi’ waktu. Mulai dari telat masuk pagi, sampai siang ’apel’ di warung kopi, atau pulang sejenak jemput anak dan balik ke kantor lagi. Kalau dipikir-pikir, hanya berapa jam waktu efektif mereka dalam bekerja. Dengan gaji dan tunjangan, mereka bisa kerja sembarangan.

Ini sudah lama terjadi. Tapi, sepertinya, semua mendiami, bagaikan tak ada yang peduli. Kalau dilihat lebih ’halus’ lagi, Polem Ali merasa rugi. Sebagai warga negara yang baik, dia merasa terzalimi dengan polah seperti itu. Selama ini, pegawai negeri dimanjakan oleh negara, dengan memberi gaji dari uang rakyat.

Karena itu, Polem Ali sudah mencanangkan tak mau bayar pajak kalau kondisinya masih begini. Toh, kalau selama ini pajak sepeda motor dibayar juga, itu biar tidak banyak urusan di jalan-jalan dan lancar dalam segala persoalan.

Dalil Polem Ali dan Reuman kuat. Analisa mereka sedikit tinggi. Negara tidak adil, protes dia. Sejatinya, petani dan nelayan juga harus menikmati uang ’pensiun’ dari negara. Tapi, karena kerjanya petani dan nelayan, maka bentuknya, bisa diatur dengan nama yang lain. Biar tak tersinggung para birokrat.  

Kenapa petani musti dapat jatah ’pensiun’ juga? Dari hasil laporan banyak lembaga, petani dan nelayanlah yang paling banyak menyumbangkan devisa untuk negara. Kelompok ini, termasuk penyumbang devisa negara. Jangan tanya bagaimana cara. Yang jelas dalam konteks Aceh, 6,5 persen pendapat daerah bruto (PDB) disumbangkan sektor perikanan. Sudah pasti ini, kreasi nelayan dan petambak juga.

Tapi, begitu petani gagal panen, mereka malah gigit jari. Begitu mereka tidak bisa melaut dan ditimpa kemalangan serta perkara lain, nyaris tak ada ’perhatian’ pemerintah. Kalau pun ada, itu hanya alakadarnya saja.

Bagaimana dengan petani? Mereka juga punya kontribusi besar untuk negara. Tidak sedikit komoditi pertanian yang diekspor, mulai dari cengkeh, pala dan sebagainya ---maaf tidak termasuk ganja---, sudah ikut menghidupi negara. Sayangnya, petani dan nelayan tak pernah hidup sejahtera.   

Padalah Polem Ali dan Reuman tahu, jika di Amerika Serikat sana, bila petaninya gagal panen dan merugi pasti akan disubsidi pemerintahnya. Tapi, itu tak terjadi di sini. Jangan kan berharap pupuk murah, yang sudah bersubsidi pun langka.

Kedua polem ini sepakat, sebagai negara agraris, pola pikir pemerintah harus diubah. Perhatian untuk petani, tidak cukup sebatas membangun irigasi. Jika mereka gagal panen, setidaknya adalah sedikti ’komisi’ dari negara, agar mereka bisa memperpanjang nafas, dan tak rugi total. Jaminan itu, sangat setimpal, jika mengingat apa yang sudah diberikan petani selama ini.

Kata Polem Ali, pegawai negeri, petani dan nelayan sudah saatnya, sama-sama mendapat ’pensiunan’ dari negara. Jika yang satu bekerja pada posisi administrasi, tapi petani, nelayan dan yang lainnya menyokong demi makmur dan sejahteranya negara ini. Ah, ini hanya kakofoni alias suara sumbang, Polem Ali saja, kata Polem Reuman. Entahlah!.


Dimuat Harian Aceh, Jumat (2/10/2009)


EmoticonEmoticon