Ilustrasi |
POLEM Ali dan Polem Reuman kembali berdebat di rangkang
blang desanya. Debat kusir ini berawal dari berita pemerintah kembali
menerima 325 ribu abdi Negara yang bahasa kerennya pegawai negeri, (baca Harian
Aceh, Jumat 25/9/09)
Seperti biasa, seusai pulang dari kebun, mereka
singgah sejenak rehat di tempat favorit itu. Keduanya tidak berada di keude
kupi atawa cafe bergengsi. Paling banter di rangkang itulah mereka berkeluh
kesah.
Kali ini, yang menggelitik keduanya tak lain, ya masalah
itu tadi; abdi negara. Kedua polem itu menolak frasa pegawai negeri. Dalam
kamus awam keduanya, kehidupan pegawai negeri terlalu enak sekali. Padahal
mereka tak lain pengabdi. Ya, mengabdi pada negara. Atas pengabdian itu, mereka
pantas menerima segepok duit hasil jerih payah.
Dengan menerima gaji itulah mereka ‘berkewajiban’
melayani masyarakat. Mulai dari yang melarat sampai yang berpangkat. Mulai dari
yang berjalan kaki, sampai naik merci. Semuanya harus diberi pelayanan sama,
jika mereka berurusan di kantor-kantor pemerintahan.
Kenapa melayani rakyat? karena memang itu tugas
mereka. Apalagi gajinya juga dibayar negara dari uang rakyat. Bukankah, negara mengutip
pajak dari rakyat? Hasil pajak itulah yang kemudian, sebagian dipakai untuk membayar
gaji abdi negara. Singkat kata, mereka makan gaji dari rakyat juga.
Mengingat hal itulah yang membuat petani plus
nelayan ini cang panah poh beurakah. Kalau pun itu menyindir
ataupun mengejek orang lain, itu urusan seratus dua fulus, kata Polem Ali yang
sengaja mengeja puluh dengan fulus.
Keduanya sudah sepakat peh canang sambil poh
cakra di bale blang. Mereka mengaku tak takut istri cemberut bila
pulang tidak membawa eungkot meunuloh kesukaan masing-masing peurumoh.
Karena sudah ada stok sembako plus banyak fulus yang cukup untuk lima hari.
Polem Ali mengaku bukan benci dengan para abdi. Malahan,
dia juga punya besan yang pegawai negeri. Tapi, dia ingin melakukan banyak
koreksi untuk kelompok ini. Mulai dari perilaku, hingga isu yang mengepul korupsi.
Kemudian, persoalan lain lagi
yang juga berselemak kolusi.
Protes
Polem Reuman pun
ikut-ikutan. Dia mengaku protes kepada
negara. Protes itu dalam diam. Katanya, dia malas jika harus berdemontrasi,
apalagi sampai harus jo-jo gateh dengan polisi. Untuk melakukan protes
itulah, dia acapkali mengajak Polem Ali adu argumentasi di bale blang. Mulai dari bagi rukok on, kupi, sampai berbagi
isi hati. Sudah pasti mengharamkan berbagi istri.
Menurutnya, negara ini keblablasan
dan suka pemborosan. Khusus mengkritisi para abdi, kedua Polem ini ingin
bertanya kenapa memberi lagi uang pensiuan kepada orang yang memang sudah sejak
awal berniat mengabdi. Ini salah kaprah. Pasalnya, selain setiap bulan mereka sudah
digaji, ke sana kemari pun dibiayai. Lalu, setiap ada proyek dapat komisi, belum
lagi dapat uang ‘administrasi’, ditambah pula upeti yang ’dimasak’ dengan bumbu
korupsi.
Praktis, inilah yang membuat
kedua Polem ini merasa tak nyaman, dan merasa tak dihargai sebagai warga negara.
Memang, kerja seperti petani dan nelayan tidak membawa banyak perubahan. Namun,
meski semua itu sudah diatur Tuhan, Polem Ali dan Reuman hanya bisa berserah
diri, pada satu sisi. Pada sisi lain, keduanya ingin ’menggugat’ negara dengan
banyak alasan.
Salah satunya, soal pesangon
hari tua untuk pegawai negeri. Kata Polem Ali, seharusnya mereka (baca; PNS) tak
perlu lagi dipasok ’subsidi’ hari tua. Akan tetapi juga diberi gaji tinggi
sesuai dengan kerja dan prestasi.
Alasannya, apalagi kalau
bukan faktor kerja. Kalau seperti ini, kenapa mereka harus pula mendapat banyak
uang terima kasih. Kalau ada yang tak setuju, langkahi dulu mayat, eh pendapat
Polem Ali.
Polem Reuman pun berasumsi. Kalau
pun ada masyarakat yang bikin urusan, juga harus mengeluarkan sedikit pelicin
berupa dana administrasi biar urusan lancar. Kalau tidak, ya, Anda tahu
sendiri. Tapi, syukurlah, kalau sekarang mulai dihilangkan budaya itu.
Lantas, jika dibilang mereka
sudah bekerja pontang-panting, ini malah betul-betul harus segera diralat. Kalau mau dikalkulasi, dari jam kerja saja,
mereka saban hari ’korupsi’ waktu. Mulai dari telat masuk pagi, sampai siang ’apel’
di warung kopi, atau pulang sejenak jemput anak dan balik ke kantor lagi. Kalau
dipikir-pikir, hanya berapa jam waktu efektif mereka dalam bekerja. Dengan gaji dan tunjangan, mereka bisa kerja
sembarangan.
Ini sudah lama terjadi. Tapi,
sepertinya, semua mendiami, bagaikan tak ada yang peduli. Kalau dilihat lebih
’halus’ lagi, Polem Ali merasa rugi. Sebagai warga negara yang baik, dia merasa
terzalimi dengan polah seperti itu. Selama ini, pegawai negeri dimanjakan oleh negara,
dengan memberi gaji dari uang rakyat.
Karena itu, Polem Ali sudah
mencanangkan tak mau bayar pajak kalau kondisinya masih begini. Toh, kalau selama
ini pajak sepeda motor dibayar juga, itu biar tidak banyak urusan di jalan-jalan
dan lancar dalam segala persoalan.
Dalil Polem Ali dan Reuman kuat.
Analisa mereka sedikit tinggi. Negara tidak adil, protes dia. Sejatinya, petani
dan nelayan juga harus menikmati uang ’pensiun’ dari negara. Tapi, karena
kerjanya petani dan nelayan, maka bentuknya, bisa diatur dengan nama yang lain.
Biar tak tersinggung para birokrat.
Kenapa petani musti dapat jatah
’pensiun’ juga? Dari hasil laporan banyak lembaga, petani dan nelayanlah yang
paling banyak menyumbangkan devisa untuk negara. Kelompok ini, termasuk
penyumbang devisa negara. Jangan tanya bagaimana cara. Yang jelas dalam konteks
Aceh, 6,5 persen pendapat daerah bruto (PDB) disumbangkan sektor perikanan.
Sudah pasti ini, kreasi nelayan dan petambak juga.
Tapi, begitu petani gagal
panen, mereka malah gigit jari. Begitu mereka tidak bisa melaut dan ditimpa
kemalangan serta perkara lain, nyaris tak ada ’perhatian’ pemerintah. Kalau pun
ada, itu hanya alakadarnya saja.
Bagaimana dengan petani? Mereka
juga punya kontribusi besar untuk negara. Tidak sedikit komoditi pertanian yang
diekspor, mulai dari cengkeh, pala dan sebagainya ---maaf tidak termasuk ganja---,
sudah ikut menghidupi negara. Sayangnya, petani dan nelayan tak pernah hidup
sejahtera.
Padalah Polem Ali dan Reuman
tahu, jika di Amerika Serikat sana, bila petaninya gagal panen dan merugi pasti
akan disubsidi pemerintahnya. Tapi, itu tak terjadi di sini. Jangan kan
berharap pupuk murah, yang sudah bersubsidi pun langka.
Kedua polem ini sepakat, sebagai
negara agraris, pola pikir pemerintah harus diubah. Perhatian untuk petani,
tidak cukup sebatas membangun irigasi. Jika mereka gagal panen, setidaknya
adalah sedikti ’komisi’ dari negara, agar mereka bisa memperpanjang nafas, dan
tak rugi total. Jaminan itu, sangat setimpal, jika mengingat apa yang sudah
diberikan petani selama ini.
Kata Polem Ali, pegawai
negeri, petani dan nelayan sudah saatnya, sama-sama mendapat ’pensiunan’ dari
negara. Jika yang satu bekerja pada posisi administrasi, tapi petani, nelayan
dan yang lainnya menyokong demi makmur dan sejahteranya negara ini. Ah, ini
hanya kakofoni alias suara sumbang, Polem Ali saja, kata Polem Reuman. Entahlah!.
Dimuat Harian Aceh, Jumat
(2/10/2009)
EmoticonEmoticon