Selasa, 11 Oktober 2016

Bandar Wisata ‘Kupiner’


SELAIN mengusung visi Bandar Wisata Islami, Banda Aceh juga menasbihkan diri sebagai kawasan Wisata Kuliner. Kuliner sendiri tumbuh subur di kota tua pusaka raja yang sudah berumur 805 tahun. Lantas, apakah iklimnya, sudah benar-benar Islami dan bersih?

Melihat topologi Banda Aceh memang bukan daerah indrustri. Karena itu wajar rasanya, jika pemerintahan kota lebih menonjolkan sektor wisata, ketimbang yang lain, seperti pusat perbelanjaan dan perdagangan misalnya. Tak heran, yang terlihat sekarang, banyak pengusaha berlomba-lomba membidik usaha perkulineran.

Bicara prospek, tentu saja potensinya tak perlu diragukan lagi. Sebab banyak pilihan yang bisa dikemas buat ‘jualan’. Tapi, kalau soal wisata, sepertinya wisata tsunami lebih menjanjikan. Meski wisata relegius dan sejarah juga tidak kalah.

Tapi untuk ‘menjual’ itu, instansi terkait juga dihadang dengan segudang rintangan. Halangan inilah yang harus menjadi pekerjaan rumah bagi ‘penguasa’ kota yang sudah dua kali menggondol Piala Adipura.

Konsep lain yang bisa diandalkan Banda Aceh mungkin dari sisi jasa dan niaga, ditambah wisata kuliner yang makin ‘keblinger’. Kedua sektor ini juga saling berkait. Jika diibaratkan, laksana malam dengan rembulan. Malam akan terasa hambar bila tak dihiasi bulan, begitu pula sebaliknya.

Wisata Apa?

Dari segi keunikan dan daya jual, brand image Bandar Wisata Islam, sepertinya punya sengatan beda daripada yang lain. Kendati saat si pelancong datang, dia tak akan menemukan keislamian yang dimaksud. Sebab, yang terpajang sekarang, malah berbeda. Sehingga, konsep bandar wisata yang dimaksud tak terasa gezahnya.

Dengan kata lain, visi yang hendak digolkan masih sebatas pajangan di pamplet dan baliho-baliho. Secara fisik, sentral Bandar Wisata Islami itu –mungkin ini akan diamini banyak orang-- adalah Masjid Raya Baiturrahaman. Bila kita mau jujur, persepsi semacam itu belum tentu salah. Pasalnya, tanpa citra itu pun, banyak orang tetap akan melangkah ke sana. Baik untuk shalat lima waktu, atau melepas nazar (kaul) hingga urusan asmara yang berlanjut ke acara prosesi ijab kabul. Kurang lebih begitu yang dipahami khalayak selama ini.

Kecuali itu, perilaku masyarakatnya juga belum mencerminkan isi konsep yang sudah digagas. Menurut penulis, wisata Islami itu, tak sekadar cukup tutup toko di hari Jumat atau saat azan Magrib. Bukan pula hanya dengan menulis papan nama lembaga antara aksara latin dan aksara Arab.

Lebih jauh dari itu. Sejatinya, penduduk yang tinggal di Bandar Wisata Islami hidup jujur, ramah, bersih dan santun serta tak amburadul. Upaya ini yang seharusnya disosialisasikan pemerintah kepada masyarakat Banda Aceh yang makin heterogen.

Ketidakteraturan juga bisa kita lihat dari penataan toko-toko yang berdiri subur bak tumbuh rambut sehabis dicukur. Kemudian muncul pula banyak tenda dan dapur-dapur di pinggir jalan. Lambat laun, pusat jajanan pun menjamur, bak daun yang rontok di musim gugur.

Kawasan kuliner pun hadir di segala simpang dan tepi jalan. Mayoritas warung kopi. Saking banyaknya, tak ada kata sepi di bibir para pramusaji. Pengunjung selalu antre. Untuk mendapat tempat, terkadang harus lebih dulu direservasi. Dan tambah aneh, mendekati waktu  shalat—terutama Magrib— pun pengunjung makin tak terlayani.

Toh, tak masalah jika hal ini berkembang pesat, sebagai indikator pertumbuhan ekonomi kota Banda Aceh menjadi hidup. Hanya saja, perlu ditata dengan aturan ketat, sehingga kuliner pun tidak bisa sembarang tempat. Jangan lantas kemudian, timbul tanya, apakah ini makna yang harus ‘dipetik’ dari Bandar Wisata Islami.

Karena itu, banyak harapan yang kemudian mengapung. Sepatutnya, Bandar Wisata Islami dan Bandar Wisata Kuliner harus bisa bersinergi. Tak bisa jalan sendiri. Untuk itu dipanding perlu dan penting penataan dengan pendekatan agamis dan humanis.

Sehingga jangan ada pusat-pusat kuliner yang memark-up harga makanan, jauh dari harga pasaran. Kebiasaan jelek para pengusaha jajanan malam, begitu melihat tampang ‘luar’ mereka tak segan-segan menghalalkan riba. Begitu pula dengan ongkos becak yang bisa langsung membengkak. Pola tak Islami ini, tentu saja merusak citra Banda Aceh dan membuat wisatawan tak nyaman.

Walaupun sulit mengatur pergerakan pasar, setidaknya pemerintah punya pedoman baku yang menjadi acuan bagi kaum wisatawan ketika melancong ke Bandar Wisata Islam. Standar ini bisa berupa daftar tarif taksi, becak, penginapan serta lainnya yang dianggap perlu.
Warkop
Yang menjadi menarik kemudian, bukan lagi soal mark-up harga makanan. Tapi menjamurkan usaha kuliner yang kian menggurita. Selain itu, ada pemandangan menarik juga dalam beberapa tahun terakhir di Banda Aceh. Makin banyak tanah kosong yang disulap menjadi rumah toko (ruko), juga kuburan umum pun sudah ada pemiliknya.

Bicara soal ruko, kita juga ditohok dengan venue yang menjengkelkan. Di kawasan yang harusnya bebas ruko malah bisa tumbuh liar. Sangking banyaknya, nyaris tak terhitung lagi jumlah ruko yang tumbuh di kota ini. Baik yang resmi maupun yang mengurus izin setelah ruko berdiri.

Dari kacamatan ekonomi para pakar, pesatnya pembangunan ruko pertanda pertumbuhan ekonomi pesat, kota sedang berkembang. Tapi, pakar planologi menilai lain. Dan para pemerhati lingkungan pun juga mengkritik. Pakar hukum apalagi, begitu pula dengan para sosiolog.

Dalam dua tiga tahun terakhir inilah, di ruko-ruko itu prospek bisnis yang menjanjikan lahir. Warung kopi namanya. Ini peluang bisnis yang cepat merebak. Sehingga dalam siklep siklap (sekejap) nyaris di setiap lorong, trotoar dan jalan utama berkecambah warung kopi.

Makanya tak mengherankan jika Banda Aceh menjadi booming warung kopi. Sanking banyaknya, sehingga Mukhtaruddin Yacob dalam artikel Program Setuja Warung di situs http://acehinstitute.org/ menulis fenomena di Aceh yang sarat warung kopi sehingga program sejuta pohon bisa cepat terlewatkan ”program sejuta warung” yang tidak dicanangkan dengan sengaja.

Bisnis kopi sekarang, tentu jauh berbeda seperti masa 90-an. Ketika itu, menjual kopi dianggap pilihan terakhir dari seseorang. Ketika semua usaha yang digelutinya tak berhasil, maka warung kopi adalah terminal untuk mita breuh si are (mencari beras seliter). Untuk memulainya, bisa saja bermodal alakadar.

Tapi, sekarang rumus itu tidak berlaku lagi—terutama di ibukota kabupaten kota. Maklum, zaman terus menggulirkan perkembangan. Jika dulu magnet warung kopi adalah ‘kotak ajaib’ alias televisi, kini, posisi tivi sudah diganti Wi-FI. Laman Wikipedia menyebutkan, Wi-Fi kependekan dari Wireless Fidelity, yang memiliki pengertian; sekumpulan standar yang digunakan untuk Jaringan Lokal Nirkabel (Wireless Local Area Networks-WLAN)

Mulanya Wi-Fi ditujukan untuk penggunaan perangkat nirkabel dan Jaringan Area Lokal (LAN). Saat ini lebih banyak dipakai untuk mengakses internet. Ini memungkinan seseorang lewat komputer terhubung dengan internet dengan memakai titik akses (atau dikenal dengan hot spot).

Tidak hanya dalam tawaran fasilitas hiburan, warung kopi kini didesain lebih modern, serta penempatan bangunan yang artistik. Seorang teman diskusi mengatakan, bikin warung kopi berarti siap berinvestasi. Membuka satu warung baru, tidak cukup dengan modal pas-pasan lagi. Karena itu, mulai dari kursi sampai lemari tidak bisa sekadar ada.

Intinya, mengelola warung kopi harus benar-benar bonafit, tidak bisa dengan modal irit. Suasana pun harus dibuat santai untuk rileks. Pelayanan juga tak bisa dengan muka masam, harus dengan seulas senyum. Dengan senyum-senyum itulah, warung kopi di Banda Aceh kemudian hidup, meski tak semuanya karena alasan yang sama.

Tak bisa dibantah, aroma kuliner lebih didominasi warung kopi. Kopi Aceh memang menyengat selera setiap pendatang, baik kelas pejabat, politisi serta artis, pasti akan menyempatkan diri menyeruput secangkir kopi Aceh. Maka, tak salah, bila kemudian wisata kuliner itu diplesetkan menjadi wisata ‘kupiner’. Bagaimana dengan Anda?


EmoticonEmoticon