SELAIN mengusung visi
Bandar Wisata Islami, Banda Aceh juga menasbihkan diri sebagai kawasan Wisata
Kuliner. Kuliner sendiri tumbuh subur di kota tua pusaka raja yang sudah
berumur 805 tahun. Lantas, apakah iklimnya, sudah benar-benar Islami dan bersih?
Melihat topologi Banda Aceh memang bukan daerah indrustri.
Karena itu wajar rasanya, jika pemerintahan kota lebih menonjolkan sektor wisata,
ketimbang yang lain, seperti pusat perbelanjaan dan perdagangan misalnya. Tak
heran, yang terlihat sekarang, banyak pengusaha berlomba-lomba membidik usaha
perkulineran.
Bicara prospek, tentu saja potensinya tak perlu
diragukan lagi. Sebab banyak pilihan yang bisa dikemas buat ‘jualan’. Tapi,
kalau soal wisata, sepertinya wisata tsunami lebih menjanjikan. Meski wisata
relegius dan sejarah juga tidak kalah.
Tapi untuk ‘menjual’ itu, instansi terkait juga
dihadang dengan segudang rintangan. Halangan inilah yang harus menjadi
pekerjaan rumah bagi ‘penguasa’ kota yang sudah dua kali menggondol Piala
Adipura.
Konsep lain yang bisa diandalkan Banda Aceh mungkin
dari sisi jasa dan niaga, ditambah wisata kuliner yang makin ‘keblinger’.
Kedua sektor ini juga saling berkait. Jika diibaratkan, laksana malam dengan
rembulan. Malam akan terasa hambar bila tak dihiasi bulan, begitu pula
sebaliknya.
Wisata Apa?
Dari segi keunikan dan daya jual, brand image
Bandar Wisata Islam, sepertinya punya sengatan beda daripada yang lain. Kendati
saat si pelancong datang, dia tak akan menemukan keislamian yang dimaksud.
Sebab, yang terpajang sekarang, malah berbeda. Sehingga, konsep bandar wisata
yang dimaksud tak terasa gezahnya.
Dengan kata lain, visi yang hendak digolkan masih
sebatas pajangan di pamplet dan baliho-baliho. Secara fisik, sentral Bandar
Wisata Islami itu –mungkin ini akan diamini banyak orang-- adalah Masjid Raya
Baiturrahaman. Bila kita mau jujur, persepsi semacam itu belum tentu salah. Pasalnya,
tanpa citra itu pun, banyak orang tetap akan melangkah ke sana. Baik untuk
shalat lima waktu, atau melepas nazar (kaul) hingga urusan asmara yang berlanjut
ke acara prosesi ijab kabul. Kurang lebih begitu yang dipahami khalayak selama
ini.
Kecuali itu, perilaku masyarakatnya juga belum
mencerminkan isi konsep yang sudah digagas. Menurut penulis, wisata Islami itu,
tak sekadar cukup tutup toko di hari Jumat atau saat azan Magrib. Bukan pula hanya
dengan menulis papan nama lembaga antara aksara latin dan aksara Arab.
Lebih jauh dari itu. Sejatinya, penduduk yang
tinggal di Bandar Wisata Islami hidup jujur, ramah, bersih dan santun serta tak
amburadul. Upaya ini yang seharusnya disosialisasikan pemerintah kepada
masyarakat Banda Aceh yang makin heterogen.
Ketidakteraturan juga bisa kita lihat dari penataan
toko-toko yang berdiri subur bak tumbuh rambut sehabis dicukur. Kemudian muncul
pula banyak tenda dan dapur-dapur di pinggir jalan. Lambat laun, pusat jajanan
pun menjamur, bak daun yang rontok di musim gugur.
Kawasan kuliner pun hadir di segala simpang dan tepi
jalan. Mayoritas warung kopi. Saking banyaknya, tak ada kata sepi di bibir para
pramusaji. Pengunjung selalu antre. Untuk mendapat tempat, terkadang harus
lebih dulu direservasi. Dan tambah aneh, mendekati waktu shalat—terutama Magrib— pun pengunjung makin
tak terlayani.
Toh, tak masalah jika hal ini berkembang pesat,
sebagai indikator pertumbuhan ekonomi kota Banda Aceh menjadi hidup. Hanya
saja, perlu ditata dengan aturan ketat, sehingga kuliner pun tidak bisa
sembarang tempat. Jangan lantas kemudian, timbul tanya, apakah ini makna yang harus
‘dipetik’ dari Bandar Wisata Islami.
Karena itu, banyak harapan yang kemudian mengapung.
Sepatutnya, Bandar Wisata Islami dan Bandar Wisata Kuliner harus bisa
bersinergi. Tak bisa jalan sendiri. Untuk itu dipanding perlu dan penting penataan
dengan pendekatan agamis dan humanis.
Sehingga jangan ada pusat-pusat kuliner yang memark-up
harga makanan, jauh dari harga pasaran. Kebiasaan jelek para pengusaha jajanan
malam, begitu melihat tampang ‘luar’ mereka tak segan-segan menghalalkan riba. Begitu
pula dengan ongkos becak yang bisa langsung membengkak. Pola tak Islami ini,
tentu saja merusak citra Banda Aceh dan membuat wisatawan tak nyaman.
Walaupun sulit mengatur pergerakan pasar,
setidaknya pemerintah punya pedoman baku yang menjadi acuan bagi kaum wisatawan
ketika melancong ke Bandar Wisata Islam. Standar ini bisa berupa daftar tarif
taksi, becak, penginapan serta lainnya yang dianggap perlu.
Warkop
Yang menjadi menarik kemudian, bukan lagi soal mark-up
harga makanan. Tapi menjamurkan usaha kuliner yang kian menggurita. Selain itu,
ada pemandangan menarik juga dalam beberapa tahun terakhir di Banda Aceh. Makin
banyak tanah kosong yang disulap menjadi rumah toko (ruko), juga kuburan umum pun
sudah ada pemiliknya.
Bicara soal ruko, kita juga ditohok dengan venue
yang menjengkelkan. Di kawasan yang harusnya bebas ruko malah bisa tumbuh liar.
Sangking banyaknya, nyaris tak terhitung lagi jumlah ruko yang tumbuh di kota
ini. Baik yang resmi maupun yang mengurus izin setelah ruko berdiri.
Dari kacamatan ekonomi para pakar, pesatnya
pembangunan ruko pertanda pertumbuhan ekonomi pesat, kota sedang berkembang. Tapi,
pakar planologi menilai lain. Dan para pemerhati lingkungan pun juga
mengkritik. Pakar hukum apalagi, begitu pula dengan para sosiolog.
Dalam dua tiga tahun terakhir inilah, di
ruko-ruko itu prospek bisnis yang menjanjikan lahir. Warung kopi namanya. Ini
peluang bisnis yang cepat merebak. Sehingga dalam siklep siklap
(sekejap) nyaris di setiap lorong, trotoar dan jalan utama berkecambah warung
kopi.
Makanya tak mengherankan jika Banda Aceh menjadi booming
warung kopi. Sanking banyaknya, sehingga Mukhtaruddin Yacob dalam artikel
Program Setuja Warung di situs http://acehinstitute.org/ menulis
fenomena di Aceh yang sarat warung kopi sehingga
program sejuta pohon bisa cepat terlewatkan ”program sejuta warung” yang tidak
dicanangkan dengan sengaja.
Bisnis kopi sekarang, tentu jauh berbeda seperti
masa 90-an. Ketika itu, menjual kopi dianggap pilihan terakhir dari seseorang.
Ketika semua usaha yang digelutinya tak berhasil, maka warung kopi adalah terminal
untuk mita breuh si are (mencari beras seliter). Untuk memulainya, bisa
saja bermodal alakadar.
Tapi, sekarang rumus itu tidak berlaku lagi—terutama
di ibukota kabupaten kota. Maklum, zaman terus menggulirkan perkembangan. Jika
dulu magnet warung kopi adalah ‘kotak ajaib’ alias televisi, kini, posisi tivi
sudah diganti Wi-FI. Laman Wikipedia menyebutkan, Wi-Fi kependekan dari Wireless
Fidelity, yang memiliki pengertian; sekumpulan standar yang digunakan untuk
Jaringan Lokal Nirkabel (Wireless Local Area Networks-WLAN)
Mulanya Wi-Fi ditujukan untuk penggunaan
perangkat nirkabel dan Jaringan Area Lokal (LAN). Saat ini lebih banyak dipakai
untuk mengakses internet. Ini memungkinan seseorang lewat komputer terhubung
dengan internet dengan memakai titik akses (atau dikenal dengan hot spot).
Tidak hanya dalam tawaran fasilitas hiburan,
warung kopi kini didesain lebih modern, serta penempatan bangunan yang artistik.
Seorang teman diskusi mengatakan, bikin warung kopi berarti siap berinvestasi.
Membuka satu warung baru, tidak cukup dengan modal pas-pasan lagi. Karena itu, mulai
dari kursi sampai lemari tidak bisa sekadar ada.
Intinya, mengelola warung kopi harus benar-benar
bonafit, tidak bisa dengan modal irit. Suasana pun harus dibuat santai untuk
rileks. Pelayanan juga tak bisa dengan muka masam, harus dengan seulas senyum. Dengan
senyum-senyum itulah, warung kopi di Banda Aceh kemudian hidup, meski tak
semuanya karena alasan yang sama.
Tak bisa dibantah, aroma kuliner lebih didominasi
warung kopi. Kopi Aceh memang menyengat selera setiap pendatang, baik kelas
pejabat, politisi serta artis, pasti akan menyempatkan diri menyeruput
secangkir kopi Aceh. Maka, tak salah, bila kemudian wisata kuliner itu diplesetkan
menjadi wisata ‘kupiner’. Bagaimana dengan Anda?
EmoticonEmoticon