Selasa, 11 Oktober 2016

Bek Rame Rame

Ilustrasi via DeMilked

CUACA di langit Lueng Bata kerap mengendap. Bukan akibat pemanasan global yang mulai dikhawatirkan banyak orang. Suhunya pun terkadang menghangatkan. Tapi tak jarang panasnya menusuk liang ‘memorial park’ korban tsunami. Dia bagai tanpa henti menohok-nohok hati para korban.

'Pengatur suhu' baik, buruk maupun cerah bagi korban tsunami itu tak lain Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh. Lantas tak heran jika banyak petingi lembaga itu yang kerap membuat panas dingin korban tsunami. Saya kira mereka belum menjadi air conditioning (AC) yang menyejukkan 'rumah-rumah' duka korban bencana. Salah satunya sudah dirasakan warga Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala.

Bagaimana tidak, dari perspektif awam, keputusan menggelar buka puasa bersama di tempat mewah seperti Hotel Mulia tentu teramat mudah disepakati. Kendati akhirnya keputusan itu dialihkan ke lain hotel. Di hotel ini, mereka bisa menyantap hidangan higienis bin mahal. Tapi, tidak untuk keputusan bagi para korban.

Sayang, mereka tak bernyali dalam mengambil keputusan untuk membongkar rumah asbes korban tsunami yang dibantu Bakrie Group. Padahal itu jelas-jelas sudah terbukti, asbes itu berbahaya bagi kesehatan masyarakat, karena terdapat kandungan chrysotile yang mencapai 20 persen.

Suhu 'panas dingin' lainnya yang menggelegak di Lueng Bata masih cukup banyak. Dana asistensi untuk sejumlah 'pakar' pemerintahan dari kalangan aktivis juga menjadi 'wendhus gembel' baru bagi arwah-arwah korban tsunami.

Dana sebesar Rp 21 juta yang dikucurkan BRR Aceh-Nias untuk tim asistensi bupati dan walikota di sejumlah daerah itu teramat besar nilainya. Tentu tak sebanding dengan kinerja mereka yang cuma tinggal bercakap-cakap saja. Pada sisi lain ini dilihat sebagai upaya untuk 'membungkam' sejumlah aktivis yang belum sempat dirangkul lembaga itu.

Kalau persoalan gaji yang membuat dompet tebal, semua orang sudah tahu. Makanya tak mengherankan bila para elite BRR hingga satpam bisa terlihat saban hari berwajah ceria. Kendati, ada arwah-arwah korban tsunami mengumpat dan mengutuki itu, meski dimakan dengan piring 'resmi' bermerek rekonstruksi.

Ketika suasananya adem, iklim lain mencuat kembali. Sisi religius umat yang menghuni negeri Serambi Mekkah disentil Kuntoro Mangkusubroto yang tak lain kepala BRR. Pria yang 'digaji' tinggi ini berangkat dari mantan menteri. Kabarnya banyak alasan dia di posisi itu. Salah satunya dia bersih, ngak bakalan mencuri eh, korupsi.

Ketika itu, Kuntoro dengan segala 'kepolosannya' mengatakan Syariat Islam yang berlaku di Aceh menghambat proses rehab-rekon yang sudah berjalan dua tahun lebih. Syukur, akhirnya dia cepat 'tobat' dengan mengklarifikasi statement-nya di media nasional itu.

Terlepas dari perubahan atmosfer di badan rekonstruksi. Ada fenomena baru yang menjadi tren di sini. Sudah jamak diketahui, BRR juga menjadi sasaran baru bagi pencari kerja. Sudah pasti yang dikejar bukan prestasi, tapi anda tahu sendiri. Jadi apalagi kalau bukan menumpuk pundi-pundi. Karena salary itulah, banyak orang kepicut lembaga itu, meski terkadang terpaksa mengabaikan nurani.

Makanya, tak mengherankan jika ada saudara-saudara kita yang bekerja di sana merasa harkat dan martabatnya melejit.
Pasalnya, orang akan sangat bangga bisa bekerja di lembaga bergaji besar ini. Seorang bapak di kampung saya dengan naik bahu dan sedikit jumawa menyebutkan anaknya bekerja di BRR. "Kalau nanti di Banda Aceh, hubungi dia saja." pesannya kepada saya.

Jika sudah begini, saya jadi terbayang dengan animo ribuan warga Aceh yang saban tahun berharap dibuka tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Karena dengan menjadi PNS, mereka merasa lebih 'aman' hidupnya ke depan. Apalagi stigma klasik sudah mendarah daging, menjadi pegawai negeri ini dianggap lebih terhormat daripada melakoni pekerja yang lain.

Dalam beberapa tahun belakangan, saya mencium aroma itu sudah menjangkiti ribuan calon pekerja di Aceh, terutama pascatsunami. Mungkin nukilan ini juga berlaku untuk mereka-mereka yang berkecimpung di lembaga-lembaga donor asing.

Makanya, menjadi tak mengherankan jika BRR kemudian, mempekerjakan ribuan tenaga kerja. Mereka ada yang produk lokal, ada pula 'TKI' dan 'TKW' yang 'mengabdi' di sana. Tak percaya lihat saja, strata-stratanya, dari petinggi sampai ke security dan koki.

Yang menarik lagi, status para pekerja juga amat bervariasi, mulai dari mantan menteri, hingga bekas bupati. Ada pula tamatan perguruan tinggi dalam negeri sampai lulusan luar negeri, juga anak turunan bangsawan sampai bekas wartawan dan mantan kombatan.

Ketika gelombang pekerja menyerbu lembaga itu, akhirnya, pikiran saya berpikir BRR ini menjadi semacam 'pemerintahan bayangan' baru di Aceh. Pasalnya, hampir semua SKPD yang ada di Pemerintah Provinsi Aceh, juga dimilik BRR dengan nama Satuan Kerja (Satker).

Asumsi lain yang terbangun ketika gelombang mutasi jabatan ikut diperdebatkan, bahkan diperebutkan lagi. Bahkan ada yang main lobi-lobi segala. Inikan tak ada bedanya dengan yang terjadi pada pemerintahan.

Tak percaya! Mungkin anda masih ingat ketika salah satu direktur 'wajib' diganti, karena pendahulunya dipanggil Ilahi. Nah, untuk mengganti pejabat yang sudah mangkat itu, kabarnya sempat alot diperdebatkan. Sampai-sampai kabar itu menggaung di warung-warung kopi. Tak ubah, seperti hebohnya "mesin" mutasi kepala-kepala dinas di pemerintahan bukan?

Ketika kabar penggantian deputi ini berhembus kencang, bahkan lebih kencang dari angin puting beliung yang menubruk atap rumah korban tsunami di Lamjabat, Meuraxa. Atau tampung barak pengungsi di Samahani.

Apalagi ketika orang dalam juga berminat menempati kursi 'panas' itu. Karena panasnya bak lahar gunung merapi, sehingga tak punya pilihan. Oleh sebab itu, akhirnya jabatan tersebut pun 'ditender' di koran. Kabarnya, dalam sejarah lembaga ini, baru pertama kali job vacancy untuk posisi tersebut dipublikasi. Sebelumnya, malah jabatan dibagi-bagi, eh maaf, diam-diam saja maksudnya.

Kenapa musti ribuan? Entah karena alasan banyak pekerjaan atawa biar cepat menghabiskan anggaran, saya tidak tahu. Kalau alasan pertama menjadi pembenaran, mungkin para korban hingga jelang tiga tahun tsunami tak ada lagi yang tinggal di barak. Atau paling tidak sudah punya rumah. Kalau alasan kedua, mungkin anda bisa ikut mengkritisinya.

Menariknya, gaji besar ternyata tak menjamin korupsi tak bersemi. Buktinya petinggi BRR yang mantan menteri itu, Kuntoro Mangkusubroto sempat pusing dua puluh enam kali keliling. Mendengar tikus, eh korupsi, Kuntoro 'naik pitam'. Tapi sayang, dia tak 'berani' menyeret para deputi, atau belum ada yang di 'Abdullahputehkan'.

Panas memang, tapi tak kalah panas juga hati Cut Po Aminah di Lampulo yang belum dapat jatah rumah. Padahal dia juga korban tsunami. Apa Wahab di Desa Baet, Kecamatan Baitussalam serta 'apa-apa' lain yang hingga kini cuma bisa menopang dagu saja.

Bukan cuma itu, hampir semua elemen mulai legislator, politisi, akademisi, hingga korban tsunami mengaku mereka tidak puas dengan kinerja lembaga rehab rekon itu. Dengan gaji selangit, tapi kinerja mereka tidak membuat kita bangga. [a]

Tulisan ini sudah pernah dimuat di Rakyat Aceh pada 2009


EmoticonEmoticon