Ilustrasi |
MENGGELITIK sekali ketika saya membaca editorial Serambi Indonesia, Sabtu
(3/4). Judulnya Banyolan Pemko Banda Aceh. Mungkin itulah bentuk ‘kekesalan’ media
akibat terlalu banyak menampung keluhan dari pembacanya. Jika menilik lebih
jauh memang tak berlebihan melihat kota yang dikatakan bersih, indah dan nyaman
ini. Faktanya, memang belum ada perubahan yang begitu progresif.
Jika kita
merunut satu-satu, kita memang harus menutup mata dulu dengan masalah energi
listrik. Sebab masalah itu sudah lazim terjadi di negeri ini. Ini memang sudah
menjadi rahasia umum. Malahan zaman sekarang, akan menjadi aneh kalau listrik
tak pernah padam di suatu wilayah meudelat.
Persoalan
primer warga lainnya, ya itu tadi soal air bersih. Persoalan ini memang sangat
vital untuk membasah kerongkongan warga kota. Memang harus diakui, Pemerintah
Kota Banda Aceh, belum mampu bangkit dari ‘sakit’ akibat tsunami. Sehingga
banyak lembaga asing yang berbondong-bondong membangun kota ini.
‘Sedekah-sedekah’ itulah yang membuat Kota Banda Aceh, kembali apik.
Tapi sampai kapan kita harus terus menengadah tangan?
Apakah sampai air Krueng Aceh berhenti mengalir? Atau sampai kota ini kembali ‘tenggelam’
seperti 26 Desember, tiga tahun silam. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu
menggelayut dibenak orang yang tinggal di Kutaraja. Termasuk pertanyaan
‘sedekah’ dari Kuwait Red Crescent Society (KRCS) pada 2005 lalu, berupa
penyuligan air laut menjadi air bersih siap minum.
Memang bantuan itu diserahkan untuk pemerintah
provinsi, tapi tak ada salahnya dia diurus bersama dengan Pemko Banda Aceh.
Alasan yang paling logis karena mesin itu berada di wilayahnya Mawardy-Illiza.
Persoalan biaya tentu bisa sharing dengan Irwandi-Nazar, kendati itu —mungkin—agak
berat ditangan anggaran. Tapi, jika kita punya itikad, semua bisa selamat.
Elegi Penyapu
Jalan
Menyikap masalah
tersebut, saya teringat omelah seorang warga di Keudah. Nadanya miris.
Tudingannya amat pahit. Dia kesal, akibat kurang tidur malam gara-gara harus
menunggu jatah buka kran pada jam dua dini hari. Sudah pasti untuk menunggu
beberapa jerigen air. Kata dia, kalau memang warga harus selalu membeli air,
mungkin tak masalah PDAM Tirta Daroy diganti nama saja menjadi PDAM Tirta Jerigen.
Tudingan lain
yang tak kalah sedap soal penyulingan air laut tadi. Kata dia, pemerintah
bukannya tidak mau, tapi karena tidak jelas fee-nya, baik itu untuk yang
usulkan anggaran, sampai ke atasan. Apalagi selama ini, yang lebih menonjol
adalah program-program baru yang sudah pasti berapa jumlah harus dibagi.
Sementara bagi yang tidak jelas fee, makin tak terurus.
Melihat kota
ini, kita harus memberi apresiasi yang luar biasa untuk kerja keras ‘pasukan
orange’. Pahlawan kebersihan ini, pontang-panting kerja membersihkan ruas-ruas
jalan berdebu di kota tua. Sayang, salary yang mereka terima tidak
seberapa bila dibandingkan dengan bau busuk sampah yang mereka angkut.
Kerja-kerja merekalah yang membuat kota ini terlihat
nyaman. Kendati yang disayangkan kesadaran warga kota untuk tidak membuang
sampah sembarangan masih rendah. Sungguh memalukan, pemilik mobil mewah pun dengan
ringan tangan menyosorkan kemasan air mineral serta puntung rokok sembarangan.
Lagi-lagi, pahlawannya adalah para penyapu jalan dan
pemulung jalanan. Beban yang dipikul ‘pahlawan adipura ini’ memang lebih berat,
meski yang diterima tidak sepadan dengan kerjanya. Ini tidak adil. Bandingkan
dengan pegawai di dinas-dinas dan instansi lainnya di lingkungan Pemko Banda
Aceh. Kalau ditilik dari segi tingkat pendidikan dan beban kerja memang,
keduanya beda.
Aturan Ocehan
Untuk ‘menghidupkan’
kembali kota ini, sejumlah lembaga donor macam Multi Donor Fund, United Nations
Development Programme, United States Agency for International Development
(USAID), dan lembaga lain sudah cukup banyak membantu. Ambil contoh, truk-truk sampah.
Mobil yang disopiri para pegawai rendahan itu saban hari berwari-wiri, kendati
gaji mereka lebih rendah dari pegawai negeri yang sebagian lebih banyak ngerumpi
dan suka ngopi.
Syukur, sejauh
ini belum ada keluhan kekurangan biaya operasional. Kalau pun muncul, tentu
harus kita tutup muka dengan seutuek (pelepah pinang). Kondisi yang amat
kontras juga bisa kita lihat pada sejumlah aturan bersyariat yang dibikin Pemko
Kutaraja, eh Banda Aceh ini. Sebut saja sejumlah lokasi yang bakal
dijadikan sarana wisata Islami, misalnya. Namun yang terjadi di lapangan justru
sebaliknya. Banyak tempat yang dirakit malahan menjadi lokasi pacaran baru. Sementara
Wilayatul Hisbah ditugaskan mengampanyekan penerapan syariat Islam.
Begitu juga
dengan lapak jajanan malam yang bertaburan sepanjang jalan Daud Beureueh,
hingga Teuku Nyak Arief dan ruas-ruas jalan lainnya di sepanjang kota tua. Di sini para muda-mudi silih berganti datang dan
pergi. Mulai dari yang sekadar ngobrol sampai ada yang ambil kesempatan buat
‘nyenggal-nyenggol’. Tahulah
selera anak muda, mumpung kondisi sepi dan remang-remang.
Lain yang muda, lain lagi yang dewasa. Mereka ambil posisi
–termasuk penulis sekali-kali---di tempat-tempat yang sudah tenar. Apalagi
kalau bukan warung kopi. Di sini, pengunjung juga datang silih berganti. Topik
yang ulas pun bervariasi. Intinya semacam ngerumpi atau ngoceh,
kata orang Betawi. Tapi yang pasti semua hikayat diputar di sini, mulai dari
hikayat prang, musang sampai ke hikayat ulee (ular).
Sayangnya, hikayat musang dan ulee ini juga
didendangkan pemerintah. Ini bisa dilihat dari banyak aturan yang menjadi
sekadar ocehan. Lihat saja, soal Izin Mendirikan Bangunan. Itu juga tidak pernah ketat benar. Padahal aturan itu sudah baku dan wajib dipatuhi sesuai
dengan tata ruang dan tata kota. Tapi buktinya, bisa sembarangan saja. Anda
punya uang, punya tanah, tentu bisa bikin toko sesuka hati. Mau menghadap kiblat,
mengarah selatan atau utara terserah saja. Soal izin, gampang diatasi.
Mau bikin gedung hingga menjulang langit atau pun
menyusur tanah, juga terserah. Asal jangan muka tokonya yang mengarah ke langit,
karena anda sendiri nanti yang ketiban susahnya. Bayangkan kalau hujan, semua
genangan akan berkumpul di toko anda yang konstruksinya tidak lazim itu. Kalau
genangan di sejumlah ruas jalan, itu sudah pemandangan biasa.
Kenapa ini bisa terjadi? Barangkali sudah sama-sama ketahui
penyebabnya; aturan itu dibuat untuk dilanggar, atau hanya sekadar menjadi ocehan.
Ocehan gaya ini tentu tidak kita dapati kalau mengambil contoh di Negeri Iran.
Walikota Taheran Ahmadinejad—kini menjadi Presiden Iran— misalnya. Pria
sederhana yang terpilih pada 3 Mei 2003 sebagai walikota, membuat banyak
kebijakan yang bersifat religius, populer dan kadang kontroversial. Di
antaranya adalah kebijakan pemisahan penggunaan lift untuk pria dan
wanita di lingkungan kantor walikota.
Dalam buku berjudul
“Ahmadinejad! David di Tengah Angkara Goliath Dunia” yang ditulis Muhsin Labib
dkk, terbitan Hikmah Populer Bandung, 2006 disebutkan, di kantornya yang
sederhana, Ahmadinejad setiap hari menemui puluhan warga Teheran yang datang
dengan beragam keluhan dan permasalahan. Yang benar-benar dirasakan warga
Teheran adalah keberhasilannya menekan jumlah kemacetan kota dengan mencopot
lampu lalu lintas di perempatan besar menjadi jalur putar balik yang sangat
efektif.
Dia juga sukses memperlihatkan sosok walikota yang
sederhana, ringan tangan melakukan kewajibannya dan tak sungkan merasakan
sendiri beban masyarakat. Di kalangan pegawai walikota, namanya menjadi bahan
perbincangan yang tak ada habisnya, setelah dia beberapa kali mengenakan
pakaian pembersih jalanan untuk menunjukkan solidaritasnya. Seringkali dia
turun dari mobil bututnya, cuma sekadar untuk membersihkan selokan yang mampet.
Informasi tambahan, setelah 2 tahun menjabat walikota Teheran, Ahmadinejad
termasuk dalam finalis pemilihan walikota terbaik dunia “World Major 2005”. Dari 550 nominasi, dari
Asia hanya sembilan orang saja.
Tentu, kita tidak mengharapkan kondisi seperti itu di
kota ini. Yang kita ingini aturan yang sudah dibikin Islami itu betul-betul
ditepati. Bukan malahan membuat sarana pendukung untuk dilanggar lagi. Kalau
ini terus berulang bak roda pedati, tak berlebihan jika dituding aturan itu
cuma ocehan. Lantas orang pun memplesetkan Banda Aceh menjadi Banda Ngoceh.
Begitu pula dengan hasrat menjadikan Kota Banda Aceh untuk
contoh penanganan bencana secara nasional. Wajar saja, sebab seperti diutarakan
Walikota Mawardy Nurdin, kesiapan Banda Aceh menjadi pilot project telah cukup memadai dengan tersedianya infrastruktur
mitigasi (penanganan bencana) yang dibangun pascatsunami. Sekali lagi, tentu
saja kita berharap itu bukan cuma ocehan. Tapi saya yakin, ini semua tidak terjadi
di Banda Aceh, tapi di kampung saya Banda Ngoceh.
EmoticonEmoticon