Ilustrasi hujan via porosjakarta.com |
HUJAN turun rinai di Negeri Lamlaman Mimpi.
Aneh, saya
malah tidak merasa tetesan air langit. Memang, saya bukan sendiri yang tidak
basah. Tiga galah di depan, saya melihat ada pejabat tinggi dan isteri, juga
sama. Tidak
kuyup.
Meski rintik, tapi malah air datang bergulung-gulung menuju sungai. Detik
itu, rakyat jelata yang berada di sungai itu justru kelimpungan merakit asa,
agar bisa keluar dari dera air bah yang sedang menderu negeri Lamlumpoe, begitu
warga setempat menyebutnya.
Keanehan lainnya. sejak dari ujung jalan, airnya malah mengalir bukan ke
jalur sebenarnya.
Namun dia menggali jalur baru. Sebuah sungai besar terbelah dua. Praktis saya
berada di antara keduanya. Tapi di dataran yang sedikit lebih tinggi.
Sebelah kanan, dua pejabat tadi melintas. Pertama, seorang perempuan
berbaju kuning plus kerudung model terkini. Dia memegang kipas di saat orang
lain masih dibasuh hujan. Di sampingnya seorang lelaki tidak terlalu tinggi.
Dia tak bersafari. Tapi mengenakan kemeja kerah putih.
Pasangan suami istri ini mirip dengan salah satu kandidat pada pemilihan
presiden di negeri tetangga. Saya berpikir, mungkin mereka sedang menebar
empati untuk menarik dukungan dari rakyat negeri Lamlumpoe. Ah tak mungkin.
Sebab warga di sini tak berhak mencontreng di negeri tetangga.
Lantas, keduanya menurun ke jalur kanan, di mana sungai besar berada. Di
dasarnya banyak orang sedang berupaya menyelamatkan diri, dari banjir yang
hendak menerjang. Dari kejauhan, saya melihat gelombang air yang tidak begitu
besar. Tapi bisa menghanyutkan.
Air itu bergulung-gulung. Ada teriakan untuk menghindar, agar tidak
terseret ulee ie (air pertama). Dalam keyakinan warga setempat, ulee
ie ini bisa berbahaya, karena kekuatan ‘lari’ bin terjangnya sulit diterka.
Tapi sudah terbukti, tak ada yang selamat dari gerusan ulee ie.
Tapi yang anehnya, lee ie itu malah meluncur ke sungai di samping
kiri. Bukan ke tempat penduduk negeri mimpi yang sedang beraktifitas di sungai
besar. Pun begitu tetap saja membuat warga berlarian. Panik.
Melihat itu, saya berteriak. Sayang, suara itu bagai dibawa angin. Para
penduduk tetap berupaya menyelamatkan selembar
nyawa. Dengan susah payah mereka berusaha menghindari terjangan air bah
pertama. Ya ulee ie itu tadi.
Lagi-lagi aneh. Air itu tetap tak menerjang deras ke sungai di mana
masyarakat sedang berusaha kabur. Sangat kontras dengan di sisi kiri. Kendati
lajunya kencang, tapi tak sampai merusak sepotong bangunan yang berdiri di
sisinya, serta benda-benda lain.
Di sekitar itu, malahan terlihat dua pria tegap duduk enteng di tepi sungai.
Orang pertama menjulur kaki. Temannya lebih santai lagi. Dia menekuk kaki kanan
sejajar bahu, sedangkan kaki kiri tetap terjulur. Jika badannya membungkung,
sekilas akan terlihat seperti orang start dalam lomba lari.
Aneh. Saat itu saya sudah berdiri di dalam genangan air. Posisinya di ruas ulee
ie tadi melintas, tapi saya tidak basah. Sejurus saya menyoroti dua pria kekar. Mereka
terlibat dalam obrolan panjang, seakan tak peduli kemunculan saya.
Seakan di situ hanya mereka berdua. Tanpa orang lain. Sial, saya tak kuasa
menangkap isi obrolan itu. Suara mereka seakan menembus angin.
Lalu, keduanya menoleh, melihat ke arah sebuah bangunan. Pintu yang
terlihat gelap itu berderit. Seseorang muncul di depan pintu. Seketika keduanya
bangkit. Terlihat sesuatu tersembul dibalik baju sekitar pinggang keduanya. Seperti
bentuk senjata, tapi tak terlihat. Saya bisa menerka benda apa yang sembunyi dibalik
kemeja pria cepak itu.
“Ah, aparat Lamlaman Mimpi,” saya membatin. Awalnya, saya berpikir mereka sedang dinas.
Dan pria yang muncul itu tak lain atasannya. Di negeri tetangga, keduanya biasa
dikenal ajudan dan petugas pengamanan. Di depan pintu, tiba-tiba muncul
seseorang. Ah, rasanya saya kenal betul pria ini.
Dia orang nomor dua di Negeri Lamlaman Mimpi. Hari itu dia bersafari, tak
ketinggalan dasi. Safari warna abu-abu diselingi les-les kuning dengan motif
menarik. Dasi terlihat tak begitu biru. Tapi, bentuk wajah, dan rambutnya yang
sudah polos di seputar kening.
Pria itu akrab di mata saya. Hidungnya yang tidak mancung tapi tak juga bangir.
Melihat itu, makin menguatkan ingatan saya. Namun, kenapa pula mimiknya lain.
Dia seperti meringis ketakutan. Seketika tubuhnya bersandar di dinding. Di
susul kepalanya yang langsung miring. Lemas.
Kedua tangannya, cepat-cepat disodorkan ke depan, seperti orang hendak
diborgol. Sekejap saja, dua pria tegap tadi merogoh sesuatu di saku depan. Benar
saja, seketika itu juga, tangannya sudah diborgol. Kenapa pria itu digari? Apa
salahnya, kenapa di depan umum begini?
Dengan reflek, saya muncul di depan mereka. Secepat itu pula mereka lari. Belum
sempat saya kejar. Muncul sebuah ingatan. Sepertinya, kasus seperti ini, pernah
juga menimpa mantan orang nomor satu di Lamlumpoe. Kini dia menjalani hukuman
dalam kerangkeng, di sebuah negeri nan jauh di sana.
Apa balada itu, terulang lagi di Lamlumpoe?
Apa yang bisa kulakukan?
”Jangan permalukan dia depan rakyatnya, kalau mau tangkap di seberang saja,”
teriak saya.
Pria yang ku kenal itu, juga sepakat. Begitu pula dengan dua pria yang
sejak awal saya kira para pengawal. Mereka pun setuju usulan itu. Dengan membiarkan
kedua tangannya lepas, dia berlari kecil ke arah gelap yang sedikit ditutupi
semak.
Di tempat yang sedikit aman, kedua aparat Negeri Lamlaman Mimpi menjalankan
tugas. Kedua tangan si pejabat tadi kembali digari. Belum kelar, tiba-tiba
muncul segerombolan pria. Mereka membawa tameng, pentungan dan senjata lain,
Dari sikap jelas hendak menghadang kami.
Saya berpikir, mungkin pria-pria menyangka kami menangkap pimpinan mereka.
Sepanjang dua lembing di depan mereka berposisi siaga, siap menyerang. Pria
yang mengamankan pejabat bersafari itu lebih siap lagi. Senjata diacungkan ke
udara. Tuss...tuss...tuss...
Tiba-tiba ada yang meletus. Ups, kacau. Saya harus menyelamatkan diri.
Langsung saja tiarap dalam parit. Basah dan anyir tak peduli lagi. Tapi
anehnya, malah air itu bening, tidak berlumpur dan bau parit.
Kawanan pria itu juga merangsek maju, hendak merampas ’tahanan’ di tangan
pria tegap tadi. Tapi sempat berpikir jauh dan apa yang terjadi, tiba-tiba saya
merasa air dalam parit makin penuh. Jika saya keluar, alamat cari mati. Minimal
terserempat peluru.
Mengingat itu, terus saja saya membenamkan tubuh di dasar parit. Makin lama
membuat saya sulit bernafas. Nyaris putus urat leher menahan nafas. Karena tak
ingin kelelepan alias buhuek, saya langsung keluar dari parit.
Tapi sayang, saya tak melihat apapun lagi di negeri Lamlumpoe. Tidak ada siapa-siapa lagi. Semuanya seakan hilang bagai
disapu gelombang air tadi. []
EmoticonEmoticon