Sabtu, 10 Oktober 2015

Hikayat Bang Dimur

HUJAN mengguyur Lampineung di ujung pekan. Sebuah stadion berdiri angkuh di sana. Lapangan itu cukup punya nama di belantara sepak bola. Stadion H Dimurthala namanya. Dari situlah, nama Aceh bergemuruh menggetarkan jagat raya Indonesia.

Kini, stadion itu sepi, namun syukur belum menjadi tumpukan besi tua. Biasa isinya tetap "panas" meski diguyuri hujan. Sekarang sudah beda, karena tak terdengar teriakan, lantak laju... Kegaduhan seakan hilang ditimpa deru hujan.

Padahal dua bulan lagi, rumput lapangan itu harus hijau kembali. Karena kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia sudah menanti. Tepatnya, 19 Februari 2015. Sayangnya, roda Persiraja di kompetisi sudah tak "bergigi" lagi. Seakan kematian sudah menanti.

"Kalau kondisinya begini, sulit menyelamatkan Persiraja," tukas Asri Soelaiman, kepada saya baru-baru ini. Asri adalah bekas pejabat di Dinas Pemuda dan Olahraga Aceh. Dia didapuk sebagai Ketua Umum Persiraja Banda Aceh sejak Agustus lalu.

Asri patut mengeluh. Sebab, selama memegang klub bekas juara Perserikatan era 1980-an ini, dia laksana memegang bara panas. Sebelum dia menerima jabatan itu, tak ada tokoh lain yang berani ambil risiko. Keuangan menjadii halangan besar. "Hana peng --tak ada duit," seru mereka.

Bukan saja tanpa dana, Pemerintah Kota Banda Aceh juga tak berani turun tangan. Padahal mereka masih tercatat sebagai "pemilik" sah. Karena ada aturan yang melarang dana pemerintah dipakai menghidupi klub profesional, maka selamatlah muka Walikota Banda Aceh dari "murka" pecinta bola.

"Dulu, biasanya Pemko memberi dana kepada Persiraja melalui APBD. Tapi sejak adanya larangan dari Menteri Dalam Negeri, mereka jadi tak peduli lagi dengan klub ini," keluh Asri lagi. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah atau APBD memang sudah diharamkan.

Larangan itu adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011. Inti dari edaran itu, melarang pemerintah daerah mengucurkan dana untuk klub-klub professional.

Satu-satunya cara menyelamatkan tim dan marwah sepak bola Aceh adalah dengan mencari sponsor. Namun, pihak ketiga tak serta merta bersedia merogok kocek. Banyak pertimbangan yang membuat kran duit tak terbuka.

Padahal dana pihak ketiga sangat diharapkan untuk menghidupi lagi klub dari jurang kematian. Sayang memang, mengingat makhluk bernama sponsor menjadi langka di tanah rencong. Mereka tak punya minat berinvestasi di olahraga.

Pengusaha-pengusaha di Aceh juga memilih jadi penonton saja. "Beda dengan Almarhum Dimurthala. Beliau sangat peduli dengan olahraga terutama sepak bola dan voli," puji Asri.

Mencari pengganti Dimurthala, tak ubahnya laksana menangkap ikan tanpa kail. Asri mengakui sulit mendapati sosok seperti Dimurthala di zaman sekarang. "Saya pikir tak ada tokoh lain yang punya kepedulian seperti Dimurthala," sambungnya.

Namun, Asri mengakui dalam diri Zainuddin Hamid punya hasrat yang sama untuk memajukan olahraga di Aceh. "Let Bugeh itu kawan dekat Dimurthala, keduanya pernah sama-sama membawa tim juara Persiraja," jelas dia.

Let Bugeh adalah panggilan akrab Zainuddin Hamid. Dia mantan Ketua Umum Komite Nasional Olahraga Nasional (KONI) Provinsi Aceh. "Kini Leg Bugeh pun sudah mulai tua, sudah lelah mengurus olahraga."

Kenapa Dimurthala?

Publik Banda Aceh pasti tahu Dimurthala yang namanya disemat pada sebuah stadion kebanggaan Persiraja. Namanya juga menempel di sepotong ruas jalan di Banda Aceh. Tepatnya di jalan menuju kantor KONI Aceh.

Kecuali kedua nama itu, namun, jarang yang tahu sepaktejang mantan pengusaha cengkeh ini. Perannya dalam membangun dunia olahraga di tanah rencong dianggap luar biasa.

"Sejak di tangan dia, sepakbola dan bola voli hidup di tempat kita," komentar Maulisman Hanafiah, mantan Wakil Ketua KONI Aceh periode 2010-2014.

Kata Maulisman, pada era Dimurthala-lah Persiraja Banda Aceh tampil sebagai juara Perserikatan PSSI tahun 1980. Di partai final Persiraja mempercundangi Persipura Jayapura dengan skor 3-1 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.

"Beliau manajernya. Saat itu Let Bugeh wakil manajer. Keduanya saling bahu membahu menghidupkan olahraga di Banda Aceh, khususnya," ujar dia menyirat kagum.

Memang, menjadi juara nasional kala itu bukan langkah mudah bagi pilar Aceh. Bustaman dkk harus ditempa dengan berbagai latihan fisik dan taktik. Bahkan, Dimurthala pula yang menjadi manajer pertama Persiraja memakai dana pribadi untuk mengontrak pelatih asing Andrew Yap, yang berasal dari Singapura.

Pemain Laskar Rencong kali itu begitu dimanjakan Dimurthala. Mereka bahkan menjalani latihan di luar negeri. Sesuatu yang jarang dirasakan pemain Persiraja selama ini. "Kualitas jersey yang kami pakai saat itu sama seperti yang dipakai klub-klub Eropa," kenang M Daan, legenda hidup Persiraja.

Pria berpostur besar ini semasa mudanya dikenal punya tendangan super geledek. Dia juga mengaku termasuk pemain "jahil" di antara rekan-rekannya, namun dia sangat disukai manajer, serta seluruh skuad.

Kata M Daan, kebersamaan itulah yang menjadi kunci sehingga mereka bisa berprestasi. "Perhatian manajer (Dimurthala) kepada tim cukup bagus. Dia tak segan-segan merogoh kocek pribadi untuk pemain, terutama mengobati mereka yang sedang sakit," ungkap M Daan.

Pria yang berposisi sebagai gelandang serang saat masih aktif bermain ini mengatakan, dirinya punya kesan mendalam dengan Dimurthala. Kata M Daan, pada suatu ketika dia nyaris membatalkan ikut tim tur ke Sumatera Utara, karena isterinya sedang sakit.

Tahu orang yang dicintai pemainnya sedang sakit, atas inisiatif sendiri, Dimur-- begitu panggilan akrabnya --langsung mendatangi rumah M Daan. Sang isteri pun saat itu juga dibawa ke rumah sakit Zainal Abidin untuk diobati.

Dalam pikiran M Daan, sang manajer tak ingin masalah keluarga mengganggu penampilan pemainnya di lapangan. Akhirnya terbukti, timnya yang tampil kompak malah berhasil menang pada laga eksebisi tersebut.

"Secara pribadi saya berhutang budi dengan beliau. Secara tim atau pun tokoh olahraga, beliau sangat pantas menjadi panutan. Dedikasinya tak perlu diragukan lagi, sudah terbukti. Puluhan karung cengkeh dijualnya untuk menghidupi olahraga di Aceh," urai M Daan panjang lebar.

Itu pula yang membuat pria berkulit gelap ini berani bertaruh, hingga kini Aceh belum punya sosok semacam Dimurthala. "Sulit mencari orang yang ikhlas dan tulus seperti Pak Dimur," ucap pensiunan pegawai negeri ini.

Asri Soelaiman, Maulisman Hanafiah dan M Daan punya pandangan yang sama dalam mengomentari sosok idola ini. "Saya berani bertaruh, kalau Dimur masih hidup, Persiraja dan mungkin saja cabang olahraga yang lain tak akan seperti ini," tukas Asri.

Makanya Asri amat merindukan lahirnya pengganti Dimurthala di Aceh. Dia berharap sepatutnya ada pengusaha sekarang yang mengikut jejak lelaki kelahiran Pelanggahan, Banda Aceh itu. Dimur sendiri wafat pada suatu hari di tahun 1986. Dia pengusaha yang juga cinta olahraga.

"Untuk membangkitkan kembali gairah olahraga, perlu peran masyarakat, dalam hal ini pengusaha yang bersedia menjadi bapak angkat. Kalau tidak ya, akan seperti ini terus nasib kita. Tidak dapat sponsor, tak ada dana," ulas Asri.

Maulisman juga mengakui, tak mungkin berharap terlalu banyak pada pemerintah. "Masyarakat pengusaha juga patut turun tangan untuk mengairahkan kembali olahraga kita. Ini yang tak ada sekarang di Aceh," ungkap dia. "Padalah kita merindukan orang macam Dimurthala."


EmoticonEmoticon