Rabu, 14 Oktober 2015

Bireuen, "Ibu Kota" Sepak Bola di Aceh

Ilustrasi
SUDAH lama daerah ini selalu "menggoda" pikiran. Makanya, saya ingin sekali "melukis" Bireuen dalam nuansa yang berbeda. Bukan lewat kanvas, tapi pasti melalui untaian aksara. Bila dia berbentuk tulisan, pasti akan mengurai ribuan kata. Jika jatuh pada bait-bait puisi, tentu akan renyah sekali.

Makanya, saya ingin menulis Bireuen dengan nuansa yang berbeda. Semua orang tahu, Bireuen punya jejak sejarah yang mendalam pada tubuh perjuangan Indonesia. Ini tentu saja menjadi "aura" tersendiri  bagi masyarakatnya, sehingga tak mengherankan bila bekas ibu kota RI yang ketiga ini dijuluki Kota Juang.

Meski cuma selama seminggu, setelah Yogyakarta jatuh ke tangan penjajah dalam agresi Belanda-- Bireuen tetap menjadi daerah mengharumkan bagi Aceh khususnya. Ya, dari satu sisi dia mewangi hingga kini, meski Bireuen pada segi yang lain, dia seperti "dilupakan" oleh Republik Indonesia.

"Dilupakan" oleh Republik? Ya, sejatinya, pemerintah melalui departemen tertentu memberi perhatian lebih kepada daerah-daerah yang sudah berjasa bagi menjaga eksistensi Indonesia di era perjuangan dulu. Daerah yang pernah menjadi ibukota, sejatinya mendapat tempat terhormat.

Untuk mendapat tempat terhormat itu, bisa melalui "promosi" sejarahnya. Bisa pula dalam upaya melestarikan sejarah itu, Pemerintah Pusat melalui lembaga terkait memberi "bonus" dalam bentuk anggaran untuk menjaga agar jejaknya tidak punah.

Karena sudah pasti, sejarah tak bisa diubah. Pejuang yang masih hidup, pasti ingat bahwa Bireuen adalah ibukota ketiga, meski jejak sejarahnya tidak begitu harum semerbak. Selain tugu atau monumen, saya pikir penulis sejarah masih "ogah" menulis Bireuen sebagai bekas Ibu kota. Ini yang saya maksud tak adanya perhatian dari negara.

Meski "diabaikan" oleh Pemerintah Pusat dari segi pengakuan di buku sejarah, tapi saya pikir Bireuen yang ada sekarang, tetap mengharumkan Aceh dan benar-benar menjadi kota juang bagi warganya. "Perjuangan" yang dilakoni masyarakat Bireuen tentu bukan lewat peperangan, tapi lewat lapangan.

Lapangan? Ya, tak ragu lagi saya menyebutkan, bahwa lapangan yang saya maksud tak lain lapangan hijau. Lewat lapangan hijau, warga Bireuen, benar-benar mengharumkan Aceh seperti saya sebutkan tadi. Lewat lapangan rumput itulah pula, warga Bireuen berjuang untuk membela negara yang bernama Indonesia.

Memang, perjuangan itu tak dilakukan lewat meja bundar, tapi melalui si kulit bundar. Sekilas, kedunya seakan tak punya benang merah. Namun, bila diresapi dengan nurani, kita akan mengaku dan merasa, bahwa keduanya saling menyatu; bersatu membela Indonesia.

Jika zaman pergolakan, membela agar Indonesia cepat merdeka dan Bireuen "rela" menjadi Ibu kota negara. Maka di era sekarang, perjuangannya adalah membela Merah Putih agar disegani negara luar di bidang olahraga; khususnya sepakbola. Sebab, hiruk-pikuk sepakbola lebih terasa ketimbang olahraga lainnya.

Makanya, tak mengherankan, bila olahraga yang paling populer di kolong jagat ini menjadi semacam magnet bagi setiap negara untuk dapat mengukir prestasi. Mulai dari kompetisi regional, hingga tingkat dunia di World Cup atau Piala Dunia. Banyak negara berlomba-lomba agar bisa merekuhnya.

"Ibu Kota" Sepak Bola
Beranjak dari kondisi itulah, saya melihat, ternyata Bireuen menjadi "ibu kota" sepakbola di Aceh. Mungkin semua kita tidak "sadar" dengan julukan baru itu. Namun, bila merujuk pada fakta-fakta yang ada kita akan tercengang dan mengangguk kepala guna mengamininya.

Torehan prestasi mengagumkan itu, dimulai Bireuen saat Liga Pendidikan Indonesia tahun pembinaan 2010/2011 tingkat Provinsi Aceh. Prestasinya adalah, seluruh juara diraih oleh kontestan dari kabupaten Bireuen. Untuk tingkat perguruan tinggi, ada Universitas Al Muslim Bireuen yang juara setelah mengalahkan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Pada kategori di bawahnya, SMAN 1 Bireuen menghempaskan SMAN 9 Banda Aceh di final. Sedangkan SMPN 1 Bireuen menundukkan SMPN 5 Lhokseumawe untuk merebut gelar yang terbaik. Selesai? Belum. Untuk lebih Sekolah Dasar, SSB Putra Banna juga pernah meraih juara kedua nasional pada ajang Piala Danone Nations Cup 2011 di Jakarta. Lengkap sudah.

Melihat ini, saya sempat berseloroh kepada sejumlah tokoh Bireuen di Banda Aceh. Seandainya di Aceh atau Indonesia punya kompetisi untuk level Taman Kanak-kanak atau TK, mungkin Bireuen juga bakal menjadi juara. Tentu saja, guyon saya disambut senyum gembira plus bangga mereka.

Menyimak ini, salah satu tokoh Bireuen, yang juga mantan Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh Drs Zulkifli S Namploh, pernah berujar; "Saya rasa Bireuen sangat pantas dijuluki sebagai Kota Bola, karena prestasi yang diraih anak-anak SD sampai perguruan tinggi di ajang Liga Pendidikan Indonesia Tingkat Provinsi Aceh," katanya ketika itu.

Setelah itu, sensasi Bireuen sebagai sentra sepak bola belum berhenti. Ada sederet pemain yang terus "berjuang" mengharumkan Bireuen dan Aceh pada umumnya. Tentu, kita tak pernah lupa dengan sosok Zulfiandi. Gelandang Tim Nasional U-19. Lalu, ada Syakir Sulaiman, juga gelandang yang tampil membela Timnas U-23 di Asian Games 2014 baru-baru ini.

Ada juga bek Persija Jakarta Syahrizal Syahbuddin. Pemain didikan Paraguay ini juga mengisi posisi di Timnas U-23 saat tampil di SEA Games 2013 Myanmar. Menyumbang tiga nama yang mengisi skuad Timnas dari berbagai level adalah sebuah prestasi amat luar biasa.

Ini adalah sumbangsih terbesar Bireuen untuk Indonesia, terutama tim sepakbolanya. Dan boleh di bilang, --barangkali tak ada kabupaten lain di Indonesia yang punya kontribusi sebesar itu untuk negara. Besarannya, saya kira tak jauh beda saat Bireuen dulu menjadi Ibu Kota RI ketiga di era perjuangan dulu.

Kini, ketiga putra Bireuen itu juga sudah berjuang untuk Indonesia di lapangan hijau. Mereka rela keluar keringat darah demi membanggakan Indonesia umumnya dan Bireuen, Aceh khususnya. Sudah habis? Ops..., ternyata belum.

Masih ada lagi "pejuang" sepakbola dari Bireuen yang mengikuti jejak seniornya di Timnas U-19 dan U-23. Saat ini, lagi-lagi ada pemain asal Bireuen juga sedang berjuang untuk menjadi salah satu pilar di timnas U-17.  Namanya adalah TM Ichsan. Pemain yang mencuat lewat Liga Pendidikan Indonesia ini sempat berguru ke Madrid, Spanyol dua tahun lalu.

Lalu, putra-putra Bireuen lainnya juga pernah dipanggil PSSI Pusat untuk mengikuti seleksi Timnas Indonesia U-17 di Bandung, Jawa Barat, pada 8-16 Desember 2013 lalu. Kelima siswa asal Kota Juang itu merupakan pilar terbaik SMAN 1 Bireuen.

Kelima pemain itu adalah Fajar Maulidan, Ichsan Anarqi, Rian Ramadhan, dan Reza Saputra serta TM Ichsan. Mereka juga para mantan pemain Liga Pendidikan Indonesia (LPI) tingkat SMA tahun 2012-2013 dan tingkat SMP tahun 2011-2012.

Kemudian untuk Timnas U-14, juga ada utusan Bireuen yang lolos seleksi. Sayangnya, di level belia kali ini pemain bola Kota Juang kalah bersaing. Jauh sebelum ini, ada juga Nazrul Fahmi. Pemain mungil yang sempat mengenyam trial di akademi Arsenal di London, Inggris, bersama pemain belia asal Palembang. Siapa dia, putra Bireuen juga.

Di level pengambil kebijakan, Bireuen juga ikut punya prestise yang lain; yakni tampuk pimpinan Asosiasi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Provinsi Aceh juga diketuai putra daerah tersebut. Saat ini juga, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga juga dari daerah yang sama.

Maka lengkap sudah keberadaan Bireuen sebagai "ibu kota" sepak bola di Aceh. Hanya saja, sampai sekarang, segala potensi itu belum tergali dan tergarap dengan apik. Pemerintah setempat sepertinya masih memilih menjadi penonton. Mereka baru unjuk diri, saat ada pemain yang berprestasi dan mengharumkan daerahnya.

Menilik data dan fakta di atas, sejatinya olahraga ini menjadi salah satu "program" unggulan di Bireuen. Jadikan sepak bola sebagai ikon. Ikon di sini dalam arti mendapat prioritas pembinaan, sehingga terkelola dengan baik. Dan, kemudian, kita tak perlu lagi mendengar cerita pilu pemain yang sudah sukses tapi sebelumnya tak mampu beli sepatu.

Pada momentum Ulang Tahun Bireuen yang ke-15 ini, tentu kita berharap, akan terbersit sebuah harapan besar pada pengembangan sumber daya masyarakatnya lewat sepak bola. Dengan potensi yang sudah ada ini, kita harus optimis, pada suatu saat nanti, Bireuen bukan cuma "ibu kota" sepak bola bagi Aceh, tapi juga bagi Indonesia. Semoga. [a]


EmoticonEmoticon