Ilustrasi |
ACEH mulai diselubungi
warna merah (bahasa Aceh mirah). Merah bukan karena kembali bersimbah darah. Tapi ini bisa
lebih parah dari pengangguran yang sudah mewabah. Atau tingkat kriminalitas
yang makin bertambah. Memang, merah yang satu ini secara kasat mata —mungkin—
kita tak melihat dan tak pula mempercayainya. Tapi, epidemik itu sekarang
menyantroni tanoh endatu.
Epidemik HIV dan AIDS di
Indonesia dan khususnya Aceh dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan yang
dapat menghancurkan generasi sekarang dan yang akan datang. Kondisi Nanggroe
Aceh Darussalam, seperti disebutkan Gubernur Irwandi Yusuf pada peringatan Hari
AIDS sedunia 1 Desember 2007 lalu, sudah tidak steril lagi.
Faktanya memang tak salah. Pascatsunami,
kasus warga terjangkit virus human immunodeficiency virus (HIV) dan Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Aceh ‘mengagetkan’. Karenanya, HIV dan
AIDS sudah tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Dikhawatirkan, akibat arus
perpindahan (migrasi) penduduk di Aceh yang kian terbuka,
tidak menutup kemungkinan
akan munculnya ‘iceberg’ HIV dan AIDS ke permukaan. Ini berarti jumlah
kasus HIV dan AIDS akan meningkat.
Nah, bila mengacu pada data
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, jumlah kasus HIV dan AIDS di Aceh,
dikabarkan melonjak. Medio
2007 mereka mengeluarkan estimasi populasi Risiko Tinggi Tertular HIV di Aceh.
Data tersebut memperkirakan ada 1.095 kasus HIV dan AIDS di tanah rencong.
Data yang dirilis Depkes itu
menyebutkan, angka 1.095 kasus itu meliputi penggunaan injection drug user
(IDU) atau pengguna narkoba suntik; wanita dengan pekerja sosial (WPS) atau PSK;
Pelanggan WPS; Lelaki PS/Gay/LSL; dan Narapidana. Kemudian ada juga pasangan
IDU dan non IDU, Sementara itu, untuk pasangan pelanggan waria tidak ditemukan
kasus terjangkit HIV dan AIDS.
AIDS di Indonesia
Kasus AIDS pertama kali
ditemukan di Indonesia tahun 1987 dan sampai dengan Desember 2007 tercatat
terjadi 10.384 kasus dengan korban meninggal dunia 2.287 orang. Data yang
diperoleh dari Ditjen PPM dan PL Depkes menyebutkan, sebanyak 16.288 orang
dinyatakan positif terinfeksi HIV dan AIDS.
Di Aceh sendiri, kasus HIV
dan AIDS mulai terungkap pada 2004, yakni hanya satu kasus saja. Lalu, data
terakhir per 29 Februari 2008 ditemui sebanyak 19 kasus. Jumlah tersebut juga
tidak bisa menjadi pegangang. Bisa saja, besok, lusa akan bertambah lagi.
Sebab, banyak kasus AIDS di Aceh tidak terdata.
Penyebabnya adalah sebagian
masyarakat belum mengerti dan mengikuti pemeriksaan di Voluntary Conseling
Confidential Testing (VCCT). Oleh karena itu, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi
(KPAP) Aceh mulai dari tingkat provinsi sampai kabupaten dan kota terus
melakukan pencegahan dan penyuluhan penyakit HIV dan AIDS.
Bahkan, untuk menangani ODHA
(orang dengan HIV-AIDS) sudah ada Klinik Pelayanan HIV dan AIDS atau Voluntary
Conseling Confidential Testing (VCCT). Kini pun, sudah ada delapan rumah sakit
yang menjadi rujukan, antara lain Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin Banda Aceh,
Rumah Sakit Kesdam Iskandar Muda, Rumah Sakit Bayangkara, RSU Sigli, Kabupaten
Pidie, RSU Cut Nyak Dhien Meulaboh, Aceh Barat, RSU Kuala Simpang, Aceh
Tamiang, RSU Langsa, dan RSU Lhokseumawe.
MRAN
Menyikapi fenomena terkini
di Aceh, diperlukan sebuah gebrakan sosial dengan merapatkan barisan untuk
menanggulangi serta mencegah HIV-AIDS. Akhirnya, berbagai lembaga di Banda Aceh
mengambil langkah-langkah untuk merenungi dan juga membangkitkan semangat juang
masyarakat dalam melawan penyakit yang belum ada obatnya itu.
Atas dasar itulah, pada
Jumat 23 Mei lalu, hadir sebuah malam renungan di Taman Sari, Banda Aceh. Malam
Renungan AIDS Nusantara (MRAN) 2008 namanya. Dia bukan sekadar malam renungan
saja. Itu menjadi momentum untuk memberikan edukasi mengenai AIDS. Selain itu,
juga memberikan advokasi kepada pengambil kebijakan.
Kita berharap Malam Renungan
AIDS menjadi sebuah aksi layanan penting bagi pemersatu masyarakat sipil dengan
pemerintahannya, guna menghilangkan hambatan-hambatan sosial, sehingga dapat
memunculkan harapan pada generasi berikutnya dalam penanggulangan penyakit yang
dimaksud. Sebab AIDS itu, bukan lagi masalah dunia luar semata-mata, akan
tetapi sudah menjadi bagian dari masalah kita di Serambi Makkah.
Bagi Aceh, ini MRAN kedua. Sedangkan
di Indonesia sudah dihelat sejak 1991 yang bermula di Kota Buaya Surabaya. Awalnya
dikenal dengan sebutan “Malam Tirakatan Mengenang Korban-Korban AIDS”. Malam tirakatan
AIDS tersebut diselenggarakan pada Ahad, 19 Mei 1991 dengan koordinasi oleh
Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN) bekerja sama dengan Persatuan Waria
Kotamadya Surabaya (Perwakos).
Para pesertanya tidak
berasal dari kedua organisasi tersebut saja tetapi hadir juga para pekerja
sosial, dan pemuka masyarakat yang prihatin dan peduli AIDS. Acara Tirakatan
AIDS dengan menyalakan lilin dilakukan dalam rangka menunjukkan rasa
solidaritas terhadap mereka yang menderita AIDS termasuk dua orang di Surabaya.
Malam tirakatan AIDS juga dalam rangka mengenang mereka yang sudah meninggal
karena AIDS sekaligus untuk saling menyadarkan bagaimana menjalani kehidupan
seksual yang sehat dan bebas dari AIDS.
Malam Renungan AIDS
Nusantara merupakan kegiatan kemasyarakatan yang diselenggarakan setiap tahun —biasanya
dalam bulan Mei— secara serentak di seluruh Dunia yang dimulai sejak 1983. Kendati
sudah ada sejak 1991 di Indonesia, namun baru pada 1996 penyelenggaraan MRAN
menjadi meluas hampir ke seluruh provinsi. Kegiatan yang bersifat non politis,
mengajak semua orang untuk sementara waktu melupakan kesibukannya dan melakukan
renungan AIDS.
Malam Renungan AIDS
Nusantara ini bertujuan untuk menyatukan semua orang dalam memikirkan dan
merenung epidemi AIDS yang sudah banyak mengambil nyawa manusia di dunia.
Dengan MRAN ini kita diajak juga untuk memberi dukungan kepada Orang dengan
HIV-AIDS (Odha) dan Orang yang hidup dengan HIV-AIDS (Ohidha).
Melalui renungan AIDS kita
diajak bukan saja untuk peduli terhadap masalah AIDS tetapi melalui renungan
kita diajak untuk mengambil langkah-langkah penanggulangan. Jadi MRAN bisa mengubah penderitaan menjadi tekad
dan tindakan yang membawa perubahan. Hingga dengan 2001, penyelenggaran MRAN
dikoordinasikan oleh Grup Koordinasi Nasional Mobilisasi AIDS Nusantara
(GKNMAN).
Hingga kini, sudah ada 1.200
koordinator Malam Renungan dari 119 negara yang mendedikasikan dirinya untuk
pelaksanaan kegiatan tersebut bagi komunitas terdampak HIV dan AIDS.
Pita Merah
Bentuk solidaritas lain yang
bisa dilakukan untuk orang yang positif HIV dan terkena adalah dengan menyemat
pita merah (red ribbon). Red Ribbon adalah logo solidaritas AIDS internasional.
Jadi dia menjadi simbol solidaritas terhadap orang-orang yang terkena HIV-AIDS dan
menyatukan orang-orang yang bergerak untuk membantu menangani penyakit ini.
Oleh karena itu, tak
mengherankan jika dalam kondisi Aceh sekarang, kita menyematkan juga pita merah
sebagai bentuk kepedulian dan keprihatinan. Setiap elemen mengambil peran dan
fungsinya masing-masing, sebab kini bukan zamannya lagi kita saling pasang
stigma dan diskriminasi.
Lantas, jika saja kita masih
menganggap HIV dan AIDS ini kutukan atau apapun dalihnya. Maka yang salah bukan
hanya si terinfeksi semata. Tentu saja, kita semua wajib bertanggung jawab,
meski tidak berbuat. Sebagai insan, kenapa kita tidak saling menjaga dan
mengingatkan. Bukankah dalam pepatah Aceh disebutkan; siduek keudroe, si mat
taloe, si peh bajoe sama saja.
Oleh karena itu, kini bukan
eranya lagi kita debat kusir. Tapi mari kita sama-sama mengusir epidemik HIV
dan AIDS dari tanoh Aceh, sebelum dia memantik banyak korban jiwa. Bila bukan
kita yang menjadi korban, tapi siapa tahu, ada keluarga, tetangga, atau orang
kampung kita. Makanya, jika bukan sekarang, kapan lagi kita peduli. [a]
Tulisan ini sudah dimuat di
Tabloid Kontras, Nomor 439 Tahun X 29 Mai-4 Juni 2008
EmoticonEmoticon