Foto via Bandarpublising |
PADA mulanya,
Hasan Tiro seorang pengusaha di New
York, Amerika Serikat. Kabarnya, dia juga punya jet
pribadi. Sayang, tak ada info akurat yang menjelaskan, usaha apa saja yang dilakoni pria bernama lengkap Hasan Muhammad
Di Tiro itu.
Sebagai konglomerat, memang,
namanya tak sampai masuk dalam daftar orang
terkaya di dunia versi banyak majalah. Dan, sungai uangnya pun bukan seperti
juragan minyak Rusia, Roman Abramovich yang menjadi bos klub Chelsea yang baru saja meraih tropi Liga
Priemer Inggris.
Namun, Tiro punya banyak penggemar dan simpatisan di
tanah kelahirannya; Aceh. Sama seperti halnya popularitas Abramovich di mata
pendukung The Blues saat ini. Akan tetapi,
karismatik Hasan Tiro bisa melebihi besarnya gudang uang taipan Rusia itu.
Pasalnya, Tiro lebih
dari sekadar tokoh yang nyaris melangkahi kotak mitos. Secara pribadi, dia adalah seorang
flamboyant telaten yang selalu tampil necis. Dia punya prinsip senantiasa tepat
waktu. Benar seperti kredo klasik, “time
is money,” Bagi Tiro setiap waktu akan selalu berarti. Karena itu,
gagasannya untuk kemajuan Aceh tak pernah berhenti, meski waktu hidupnya
berakhir.
Barangkali, atas alibi
itulah, banyak simpatisannya di Aceh yang senantiasi menanti kedatangan pria
yang dikalangan pendukungnya dilakabkan sebagai ‘Wali Nanggroe’. Sehingga tak
salah, bila satu hari seusai mangkatnya Hasan Tiro, Kamis, 3 Juni 2010,
bumi dan publik Aceh seakan digoyang ‘demam’.
‘Demam’ ini bisa kita
lihat dari berita dan publikasi media terhadap sosok legendaris itu. Semua pengamat
seakan tak pernah macet idenya ketika hendak menulis sosok yang nyaris
mendekati puncak kultus ini.
Lalu, ‘demam’ berita
serta pernak pernik Hasan Tiro juga melanda segala lapisan pendukung
fanatiknya. Di area-area tertentu, foto Hasan Tiro terbingkai dalam pigura
berwarna emas. Sesuatu yang tak pernah melingkari foto presiden negeri ini. Seakan-akan
lalat pun tak boleh hingga di kacanya.
Fotonya semasa hidup
diburu para pengikut setianya. Kliping Koran tak jarang di simpan rapi. Tak ada
yang asli, terkadang hasil fotokopi pun jadi. Yang penting, gambar Wali ada di
setiap dinding rumah. Mulai dari rumah yang bertipe megah, sampai rumah beratap
rumbia. Sepertinya, dia hidup di relung-relung hati rakyat jelata. Jasad boleh
saja berpisah dengan raga, tapi namanya tetap harum mengalahkan wangi seulanga.
Demam pendukung fanatik
Wali bisa tak bertepi. Seperti demam yang kini juga sedang melanda seantero
dunia. Saat mereka menanti kick off
World Cup 2010 di benua hitam Afrika Selatan. Sanking gandrungnya, semua bola
mania acap memburu setiap pernak-pernik yang berbau even empat tahunan itu. Atribut
dan jersey tim kebanggaannya dibeli
buat koleksi.
Tak jauh beda dengan narasi di atas tadi.
Andai saja, Wali masih hidup dan berkesempatan menonton Piala Dunai 2010 untuk
terakhir kali, mungkin polanya akan beda. Melintas ide iseng saya, dalam tanda
tanya, Wali akan pilih tim Negara mana? Meski dia tak lagi seperti Abramovich
yang selalu menunggang Chelsea.
Pun begitu, setidaknya,
apa yang digemari Hasan Tiro praktis akan referensi bagi ribuan pengikutnya. Ketika
sampai pada tataran ini, saya ingin sekali melihat Wali tanpa jas dan dasi yang
menjadi busana resminya sehari-hari. Tapi dengan balutan jersey bola kesukaannya.
Memang, meski usai sudah
renta, tapi soal penampilan jangan ditanyai. Karena itu, makan boleh apa saja,
asal tetap minum coca-cola. Soal
berbusana, kita harus salut dengan tokoh perlawanan ini. Sepertinya dia paling
mahfum, kapan harus terlihat bak aristokrat dan sebaliknya. Dia akan selalu menerima
tamu dalam aroma wangi, tak mau apak dan pakaian supak. Tangan dan tatapannya
tetap fokus pada pembicaraan. Sayang, usianya yang sudah senja, membuat kita
tak bisa melihat lagi sikap aristrokasinya.
Gaya makan juga tidak krang-kring. Dia paling tahu kapan sendok harus menyentuh dasar
piring, sebelum garpu menyusul. Persis seperti taktik pemain bola, menyerang
dan bertahan tak bisa berbarengan. Semua harus disusun dan rapi, sehingga tak
mengherankan jika foto-foto yang terpublikasi tak ada yang sedang bersarung,
apalagi kaos oblong. Minimal pada masa-masa rehat mengusir penat.
Pada momen Piala Dunia
ini, saya sebenarnya ingin sekali melihat dia memakai jersey kesukaannya, tanpa mengusik kenecisan dan kerapian yang
menjadi khasnya Wali. Tentu juga, tanpa harus ‘memaksa’ dia memakai jersey negara mana yang ambil bagian di
Piala Dunia.
Jika saja dia memilih mendukung
beberapa negara peserta Piala Dunia, mungkin yang berada diurutan pertama tak lain Swedia. Dia
bakal punya alasan kuat, kenapa dia berpihak ke negara itu. Tak salah lagi,
sebab dia warga negaranya. Seperti kita tahu, Tiro bermukim selama hampir tiga
dasawarsa di Negara Skandinavia itu.
Asumsi ini mentah
seketika, mengingat negeri Ibrahimovic ini gagal lolos ke Afrika Selatan.
Dengan demikian, satu kandidat
gugur dengan sendirinya. Bagimana jika dukungan mengalir ke Denmark, yang berada di grup E
bersama Belanda, Kamerun dan Jepang.
Sepertinya, Tengku Hasan tak berkenan. Alasannya singkat. Dia
tak ingin ‘dinamit’ –julukan Denmark
meledak-ledak. Sebab ledakan itu berpotensi merusak perdamaian, yang sudah
dirintis di Helsinki,
Finlandia pada 15 Agustus 2005. Kata dia, --mungkin-- bukan masanya lagi bikin
ledakan sana-sini,
apalagi sampai mengamuk untuk urusan
yang masih bisa ditolerir.
Bagaimana dengan Belanda?
Hasan Tiro punya ‘dendam’ turunan dengan negera para Meneer itu. Kecuali alasan sejarah, dari kacamata Tiro, dosa Belanda-lah
yang membuat dia harus kembali ‘merebut’ Aceh dari tangan Indonesia
dengan gerakan perlawanan yang dicetuskan pada 4 Desember 1976. Kesalahan
inilah yang menurut Hasan Tiro dosa tak berampun.
Negara Ratu Beatrix itu
juga punya rekam jejak jelek di mata Hasan Tiro. Di tangan pasukan marsose, ‘Wali Nanggroe’ terakhir Teungku
Maat di Tiro gugur dalam pertempuran Alue Bhot, Pidie, tanggal 3 Desember 1911.
Mengutip Nezar Patria dalam tulisan “Perginya ‘Sang Wali’ Terakhir” (lihat http://nasional.vivanews.com) disebutkan, seusai
itulah, Hasan Tiro menampilkan diri sebagai penyambung arus heroik sejarah ini,
dan menggagas Aceh Merdeka.
Intinya, ‘Kerajaan
Tanah-Tanah Rendah’ itu tak masuk dalam diari Hasan Tiro. Sakit hatinya tak
terperi. Jika saja Belanda tidak idiot bin ‘primitif’—ucapan khasnya untuk
menilai kebodohan-, mungkin dia tak perlu sibuk-sibuk harus turun bergerilya ke
belantara.
Bergerilyanya Tiro juga
tak terlepas dari lecutan filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche.
Jerman, --Negera yang di Piala Dunia kali ini berada di grup D bersama Serbia, Ghana
dan Australia.
Inilah yang membuat dia angkat kaki dari hutan beton New York guna menapaki hutan Aceh.
Setelah ‘bertemu’
filsuf itu di Fifth Avenue,
New York, ‘bisikan’ Nietzsche
mengiang kuat di telinganya. Kemudian, Sabtu, 30 Oktober 1976 dia pun mendarat di
Kuala Tari, Pasi Lhok, Kabupaten Pidie sekitar pukul 08.30 WIB, setelah 25
tahun menetap di Amerika Serikat.
Mungkin saja dia tak
akan mendukung pasukan Der Panzer, mengingat keterikatan emosional lebih dominan
di altar pola pikir saja. Apalagi negara ini tak banyak membantu Tiro dalam misi
besarnya. Pun begitu, dia tetap bersyukur karena selama sakit sebelum
menghambus nafas terakhir masih di rawat di rumah sakit Jerman. Ya, New RSUZA
Hospital itu dibangun
atas bantuan Pemerintah Jerman melalui bank pembangunan negara itu (KFW)
senilai sekitar Rp418,5 miliar.
Di barisan negara donor, bukan saja Jerman yang
unjuk solidaritas, setidaknya ada 59 negara lain yang ikut membantu. Paling ini
sekaran bisa kita lihat di Taman Internasional 'Aceh Thanks the World' di Blang
Padang, Banda
Aceh. Taman yang melingkar di tanah milik
pemerintah daerah ini melambangkan persahabatan antarnegara, khususnya yang
berkontribusi dalam rekonstruksi Aceh.
Hanya
satu –mungkin--
yang membuat dia pergi menghadap Khalik penuh gusar. Buah hatinya, sang
putra
mahkota tak pernah terlihat di sisinya. Meski dia maklum, sang isteri
juga
butuh perhatian si anak yang kita berada di Ohio, Amerika Serikat. Dia
negeri Paman Sam ini, Hasan Tiro punya sejuta memori. Mulai dari
kisah asrama sampai pandangan haluan politiknya berubah di sana.
Di negara yang
diproklamasikan 4 Juli 1776, Hasan Tiro menemukan cinta di mata bening Dora.
Dari situlah lahir putra semata wayang, Karim Tiro namanya. Di New York pula,
Tiro bertemu filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche. Memori-memori
ini tak banyak membantu Tiro untuk mendukung pasukan Barack Obama, yang
berjuluk Sam's Army di Afrika
Selatan.
Pasalnya, Amerika
Serikat yang menjadi tumpuannya untuk menggapai ‘cita-cita’ tak banyak
membantu. Di mata Tiro, mereka cuma menjadi penonton saja saat Aceh butuh
dukungan politik Internasional. Sampai di sini, Hasan Tiro juga memiliki memori
kelam di Ellis Island. Soalnya, saat paspornya
dicabut Pemerintah Indonesia
melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo ketika itu, Hasan Tiro dipenjara. Namun
setelah membayar denda sebanyak US$ 500, baru dia dibebaskan.
Dan sejarah mencatat pula,
4 Desember 1976 adalah babak baru jejak hidup dan penjuangannya. Akibat tak
enaknya masuk hutan keluar hutan selama tiga tahun.
Sampai-sampai
pikirannya membersit masa-masa indah kala ia berjalan di Fifth Avenue, New York.
Karena alasan keamanan,
lalu, pada 29 Maret 1979 dia meninggalkan Aceh. “Hanya orang gila dan dungu
yang percaya bahwa aku tak akan kembali lagi,” tegas Hasan Tiro pada 28 Maret
1979 dalam The Prince of Freedom: The
Unfinished Diary. Buku setebal 266 halaman itu ditulis Hasan Tiro selama tiga
tahun bergerilya di rimba Aceh.
Dua tahun kemudian
yakni pada 1981, catatan itu diterbitkan di London, Inggris. Tentu saja negeri Ratu
Elizaberth ini menjadi negara ‘favorit’ ayah pria kelahiran Tanjong Bungoeng,
25 Sepetember 1925. Meski dalam vesi lain disebutkan dia lahir pada tahun
berbeda yakni 1930.
Kenapa dengan Inggris? Pasalnya,
jika ide membebaskan Aceh tercapai, dia ingin negerinya masuk dalam kelompok Negara-Negara
Persemakmuran (Commonwealth of Nations). Paling
tidak Aceh bisa menjadi negara ke-55 yang bergabung dalam Kerajaan
Persemakmuran atau "Commonwealth Realm" yang dikendalikan Ratu
Elizabeth II sebagai Ketua Persemakmuran.
Tiro ingin ‘bergabung
dengan Malaysia, Brunai
Darussalam, Singapura, India, Pakistan, Sri Lanka, Maladewa serta lainnya.
Negera-negara tersebut sudah lebih dulu bergabung, kendati tak sekalipun
berkecimpung di altar Piala Dunia. Khusus Malaysia, Wali juga mengalung jasa.
Pada masa Aceh dikurung status Daerah Operasi Militer, banyak orang Aceh lari
ke Malaysia,
termasuk serdadu GAM, dan mereka yang dituduh terlibat gerakan itu. Sebagian
ditangkap penguasa Malaysia.
Demi untuk kepentingan
‘politik’-nya, dia senantiasa mendukung The
Three Lions luar dalam. Apalagi jika bisa menembus final dan juara. Bertemu
Belanda, Amerika Serikat, Jerman, Spanyol,
Italia atau Brazil
itu bukan perkara. Persoalan lawan di final tak menjadi soal, asal yang penting
juaranya tetap pasukan The Saint George
Cross.
Tentu saja, pada momen
Piala Dunia ini, Hasan Tiro tak ingin melewatkan kesempatannya untuk
menyaksikan Wayne Rooney cs bertanding di Stadion
Royal Bafokeng di Rustenburg. Kota
ini terletak di bagian barat laut Afrika Selatan.
Bila kemudian dia
‘membenci’ Amerika Serikat, maka negara lain yang dibela selain Swedia, pasti Libya.
Pada 1986, dia memilih Libya
sebagai kamp pelatihan militer. Di negara itulah dia, Hasan membangun gerakan
bersenjatanya. Dan sampai akhir hayat pun, para mantan serdadu dengan sandi
‘Pengawal Tripoli’ tetap mengawal jasadnya ke pembaringan terakhir.
Bentuk pembelaan lain
Tiro, bisa kita dengar dari dia berpidato dalam Konferensi Dunia Gerakan Pembebasan,
dan meminta para anggota organisasi itu membela Libya. Dia mengatakan, “Libya diancam dengan perang tidak sah, oleh AS
dan sekutu Zionisnya, Israel, karena berani membela hak
menentukan nasib sendiri bangsa Palestina. Sejarah mencatat, kejadian itu April
1986, di mana Amerika Serikat melancarkan Operasi
El Dorado Canyon
menyerang Tripoli dan Benghazi.
Sehari sebelum peluit
Piala Dunia melengking, sang Wali sudah melewati tujuh hari di alam kubur. Sampai-sampai
‘keisengan’ untuk melihat Wali tak bersafari pun ikut terkubur dalam angan. [a]
EmoticonEmoticon