Kamis, 24 Juli 2014

Hasan Tiro dan Piala Dunia

Foto via Bandarpublising
PADA mulanya, Hasan Tiro seorang pengusaha di New York, Amerika Serikat. Kabarnya, dia juga punya jet pribadi. Sayang, tak ada info akurat yang menjelaskan, usaha apa saja yang dilakoni pria bernama lengkap Hasan Muhammad Di Tiro itu.

Sebagai konglomerat, memang, namanya tak sampai masuk dalam daftar orang terkaya di dunia versi banyak majalah. Dan, sungai uangnya pun bukan seperti juragan minyak Rusia, Roman Abramovich yang menjadi bos klub Chelsea yang baru saja meraih tropi Liga Priemer Inggris.

Namun, Tiro punya banyak penggemar dan simpatisan di tanah kelahirannya; Aceh. Sama seperti halnya popularitas Abramovich di mata pendukung The Blues saat ini. Akan tetapi, karismatik Hasan Tiro bisa melebihi besarnya gudang uang taipan Rusia itu.

Pasalnya, Tiro lebih dari sekadar tokoh yang nyaris melangkahi kotak mitos. Secara pribadi, dia adalah seorang flamboyant telaten yang selalu tampil necis. Dia punya prinsip senantiasa tepat waktu. Benar seperti kredo klasik, “time is money,” Bagi Tiro setiap waktu akan selalu berarti. Karena itu, gagasannya untuk kemajuan Aceh tak pernah berhenti, meski waktu hidupnya berakhir.

Barangkali, atas alibi itulah, banyak simpatisannya di Aceh yang senantiasi menanti kedatangan pria yang dikalangan pendukungnya dilakabkan sebagai ‘Wali Nanggroe’. Sehingga tak salah, bila satu hari seusai mangkatnya Hasan Tiro, Kamis, 3 Juni 2010, bumi dan publik Aceh seakan digoyang ‘demam’.

‘Demam’ ini bisa kita lihat dari berita dan publikasi media terhadap sosok legendaris itu. Semua pengamat seakan tak pernah macet idenya ketika hendak menulis sosok yang nyaris mendekati puncak kultus ini.

Lalu, ‘demam’ berita serta pernak pernik Hasan Tiro juga melanda segala lapisan pendukung fanatiknya. Di area-area tertentu, foto Hasan Tiro terbingkai dalam pigura berwarna emas. Sesuatu yang tak pernah melingkari foto presiden negeri ini. Seakan-akan lalat pun tak boleh hingga di kacanya.

Fotonya semasa hidup diburu para pengikut setianya. Kliping Koran tak jarang di simpan rapi. Tak ada yang asli, terkadang hasil fotokopi pun jadi. Yang penting, gambar Wali ada di setiap dinding rumah. Mulai dari rumah yang bertipe megah, sampai rumah beratap rumbia. Sepertinya, dia hidup di relung-relung hati rakyat jelata. Jasad boleh saja berpisah dengan raga, tapi namanya tetap harum mengalahkan wangi seulanga.

Demam pendukung fanatik Wali bisa tak bertepi. Seperti demam yang kini juga sedang melanda seantero dunia. Saat mereka menanti kick off World Cup 2010 di benua hitam Afrika Selatan. Sanking gandrungnya, semua bola mania acap memburu setiap pernak-pernik yang berbau even empat tahunan itu. Atribut dan jersey tim kebanggaannya dibeli buat koleksi.

Tak jauh beda dengan narasi di atas tadi. Andai saja, Wali masih hidup dan berkesempatan menonton Piala Dunai 2010 untuk terakhir kali, mungkin polanya akan beda. Melintas ide iseng saya, dalam tanda tanya, Wali akan pilih tim Negara mana? Meski dia tak lagi seperti Abramovich yang selalu menunggang Chelsea. 

Pun begitu, setidaknya, apa yang digemari Hasan Tiro praktis akan referensi bagi ribuan pengikutnya. Ketika sampai pada tataran ini, saya ingin sekali melihat Wali tanpa jas dan dasi yang menjadi busana resminya sehari-hari. Tapi dengan balutan jersey bola kesukaannya.

Memang, meski usai sudah renta, tapi soal penampilan jangan ditanyai. Karena itu, makan boleh apa saja, asal tetap minum coca-cola. Soal berbusana, kita harus salut dengan tokoh perlawanan ini. Sepertinya dia paling mahfum, kapan harus terlihat bak aristokrat dan sebaliknya. Dia akan selalu menerima tamu dalam aroma wangi, tak mau apak dan pakaian supak. Tangan dan tatapannya tetap fokus pada pembicaraan. Sayang, usianya yang sudah senja, membuat kita tak bisa melihat lagi sikap aristrokasinya.

Gaya makan juga tidak krang-kring. Dia paling tahu kapan sendok harus menyentuh dasar piring, sebelum garpu menyusul. Persis seperti taktik pemain bola, menyerang dan bertahan tak bisa berbarengan. Semua harus disusun dan rapi, sehingga tak mengherankan jika foto-foto yang terpublikasi tak ada yang sedang bersarung, apalagi kaos oblong. Minimal pada masa-masa rehat mengusir penat.

Pada momen Piala Dunia ini, saya sebenarnya ingin sekali melihat dia memakai jersey kesukaannya, tanpa mengusik kenecisan dan kerapian yang menjadi khasnya Wali. Tentu juga, tanpa harus ‘memaksa’ dia memakai jersey negara mana yang ambil bagian di Piala Dunia.

Jika saja dia memilih mendukung beberapa negara peserta Piala Dunia, mungkin  yang berada diurutan pertama tak lain Swedia. Dia bakal punya alasan kuat, kenapa dia berpihak ke negara itu. Tak salah lagi, sebab dia warga negaranya. Seperti kita tahu, Tiro bermukim selama hampir tiga dasawarsa di Negara Skandinavia itu.

Asumsi ini mentah seketika, mengingat negeri Ibrahimovic ini gagal lolos ke Afrika Selatan. Dengan demikian, satu kandidat gugur dengan sendirinya. Bagimana jika dukungan mengalir ke Denmark, yang berada di grup E bersama Belanda, Kamerun dan Jepang.   

Sepertinya, Tengku Hasan tak berkenan. Alasannya singkat. Dia tak ingin ‘dinamit’ –julukan Denmark meledak-ledak. Sebab ledakan itu berpotensi merusak perdamaian, yang sudah dirintis di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Kata dia, --mungkin-- bukan masanya lagi bikin ledakan sana-sini, apalagi sampai mengamuk untuk urusan yang masih bisa ditolerir.

Bagaimana dengan Belanda? Hasan Tiro punya ‘dendam’ turunan dengan negera para Meneer itu. Kecuali alasan sejarah, dari kacamata Tiro, dosa Belanda-lah yang membuat dia harus kembali ‘merebut’ Aceh dari tangan Indonesia dengan gerakan perlawanan yang dicetuskan pada 4 Desember 1976. Kesalahan inilah yang menurut Hasan Tiro dosa tak berampun. 

Negara Ratu Beatrix itu juga punya rekam jejak jelek di mata Hasan Tiro. Di tangan pasukan marsose, ‘Wali Nanggroe’ terakhir Teungku Maat di Tiro gugur dalam pertempuran Alue Bhot, Pidie, tanggal 3 Desember 1911. Mengutip Nezar Patria dalam tulisan “Perginya ‘Sang Wali’ Terakhir” (lihat http://nasional.vivanews.com) disebutkan, seusai itulah, Hasan Tiro menampilkan diri sebagai penyambung arus heroik sejarah ini, dan menggagas Aceh Merdeka.

Intinya, ‘Kerajaan Tanah-Tanah Rendah’ itu tak masuk dalam diari Hasan Tiro. Sakit hatinya tak terperi. Jika saja Belanda tidak idiot bin ‘primitif’—ucapan khasnya untuk menilai kebodohan-, mungkin dia tak perlu sibuk-sibuk harus turun bergerilya ke belantara.

Bergerilyanya Tiro juga tak terlepas dari lecutan filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche. Jerman, --Negera yang di Piala Dunia kali ini berada di grup D bersama Serbia, Ghana dan Australia. Inilah yang membuat dia angkat kaki dari hutan beton New York guna menapaki hutan Aceh.

Setelah ‘bertemu’ filsuf itu di Fifth Avenue, New York, ‘bisikan’ Nietzsche mengiang kuat di telinganya. Kemudian, Sabtu, 30 Oktober 1976 dia pun mendarat di Kuala Tari, Pasi Lhok, Kabupaten Pidie sekitar pukul 08.30 WIB, setelah 25 tahun menetap di Amerika Serikat.

Mungkin saja dia tak akan mendukung pasukan Der Panzer, mengingat keterikatan emosional lebih dominan di altar pola pikir saja. Apalagi negara ini tak banyak membantu Tiro dalam misi besarnya. Pun begitu, dia tetap bersyukur karena selama sakit sebelum menghambus nafas terakhir masih di rawat di rumah sakit Jerman. Ya, New RSUZA Hospital itu dibangun atas bantuan Pemerintah Jerman melalui bank pembangunan negara itu (KFW) senilai sekitar Rp418,5 miliar.

Di barisan negara donor, bukan saja Jerman yang unjuk solidaritas, setidaknya ada 59 negara lain yang ikut membantu. Paling ini sekaran bisa kita lihat di Taman Internasional 'Aceh Thanks the World' di Blang Padang, Banda Aceh. Taman yang melingkar di tanah milik pemerintah daerah ini melambangkan persahabatan antarnegara, khususnya yang berkontribusi dalam rekonstruksi Aceh.

Hanya satu –mungkin-- yang membuat dia pergi menghadap Khalik penuh gusar. Buah hatinya, sang putra mahkota tak pernah terlihat di sisinya. Meski dia maklum, sang isteri juga butuh perhatian si anak yang kita berada di Ohio, Amerika Serikat. Dia negeri Paman Sam ini, Hasan Tiro punya sejuta memori. Mulai dari kisah asrama sampai pandangan haluan politiknya berubah di sana.

Di negara yang diproklamasikan 4 Juli 1776, Hasan Tiro menemukan cinta di mata bening Dora. Dari situlah lahir putra semata wayang, Karim Tiro namanya. Di New York pula, Tiro bertemu filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche. Memori-memori ini tak banyak membantu Tiro untuk mendukung pasukan Barack Obama, yang berjuluk Sam's Army di Afrika Selatan.

Pasalnya, Amerika Serikat yang menjadi tumpuannya untuk menggapai ‘cita-cita’ tak banyak membantu. Di mata Tiro, mereka cuma menjadi penonton saja saat Aceh butuh dukungan politik Internasional. Sampai di sini, Hasan Tiro juga memiliki memori kelam di Ellis Island. Soalnya, saat paspornya dicabut Pemerintah Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo ketika itu, Hasan Tiro dipenjara. Namun setelah membayar denda sebanyak US$ 500, baru dia dibebaskan.

Dan sejarah mencatat pula, 4 Desember 1976 adalah babak baru jejak hidup dan penjuangannya. Akibat tak enaknya masuk hutan keluar hutan selama tiga tahun.
Sampai-sampai pikirannya membersit masa-masa indah kala ia berjalan di Fifth Avenue, New York.

Karena alasan keamanan, lalu, pada 29 Maret 1979 dia meninggalkan Aceh. “Hanya orang gila dan dungu yang percaya bahwa aku tak akan kembali lagi,” tegas Hasan Tiro pada 28 Maret 1979 dalam The Prince of Freedom: The Unfinished Diary. Buku setebal 266 halaman itu ditulis Hasan Tiro selama tiga tahun bergerilya di rimba Aceh.

Dua tahun kemudian yakni pada 1981, catatan itu diterbitkan di London, Inggris. Tentu saja negeri Ratu Elizaberth ini menjadi negara ‘favorit’ ayah pria kelahiran Tanjong Bungoeng, 25 Sepetember 1925. Meski dalam vesi lain disebutkan dia lahir pada tahun berbeda yakni 1930.

Kenapa dengan Inggris? Pasalnya, jika ide membebaskan Aceh tercapai, dia ingin negerinya masuk dalam kelompok Negara-Negara Persemakmuran (Commonwealth of Nations). Paling tidak Aceh bisa menjadi negara ke-55 yang bergabung dalam Kerajaan Persemakmuran atau "Commonwealth Realm" yang dikendalikan Ratu Elizabeth II sebagai Ketua Persemakmuran.

Tiro ingin ‘bergabung dengan Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, India, Pakistan, Sri Lanka, Maladewa serta lainnya. Negera-negara tersebut sudah lebih dulu bergabung, kendati tak sekalipun berkecimpung di altar Piala Dunia. Khusus Malaysia, Wali juga mengalung jasa. Pada masa Aceh dikurung status Daerah Operasi Militer, banyak orang Aceh lari ke Malaysia, termasuk serdadu GAM, dan mereka yang dituduh terlibat gerakan itu. Sebagian ditangkap penguasa Malaysia.

Demi untuk kepentingan ‘politik’-nya, dia senantiasa mendukung The Three Lions luar dalam. Apalagi jika bisa menembus final dan juara. Bertemu Belanda, Amerika Serikat, Jerman, Spanyol, Italia atau Brazil itu bukan perkara. Persoalan lawan di final tak menjadi soal, asal yang penting juaranya tetap pasukan The Saint George Cross.

Tentu saja, pada momen Piala Dunia ini, Hasan Tiro tak ingin melewatkan kesempatannya untuk menyaksikan Wayne Rooney cs bertanding di Stadion Royal Bafokeng di Rustenburg. Kota ini terletak di bagian barat laut Afrika Selatan.

Bila kemudian dia ‘membenci’ Amerika Serikat, maka negara lain yang dibela selain Swedia, pasti Libya. Pada 1986, dia memilih Libya sebagai kamp pelatihan militer. Di negara itulah dia, Hasan membangun gerakan bersenjatanya. Dan sampai akhir hayat pun, para mantan serdadu dengan sandi ‘Pengawal Tripoli’ tetap mengawal jasadnya ke pembaringan terakhir.

Bentuk pembelaan lain Tiro, bisa kita dengar dari dia berpidato dalam Konferensi Dunia Gerakan Pembebasan, dan meminta para anggota organisasi itu membela Libya. Dia mengatakan, “Libya diancam dengan perang tidak sah, oleh AS dan sekutu Zionisnya, Israel, karena berani membela hak menentukan nasib sendiri bangsa Palestina. Sejarah mencatat, kejadian itu April 1986, di mana Amerika Serikat melancarkan Operasi El Dorado Canyon menyerang Tripoli dan Benghazi.

Sehari sebelum peluit Piala Dunia melengking, sang Wali sudah melewati tujuh hari di alam kubur. Sampai-sampai ‘keisengan’ untuk melihat Wali tak bersafari pun ikut terkubur dalam angan.  [a]


EmoticonEmoticon