Ilustrasi |
"Memang
biaya perang sangat mahal akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih
mahal. Peliharalah kedamaian ini untuk kesejahteraan kita semua"
SEKILAS potongan kalimat pembuka tulisan ini minim makna. Padalah pesan yang
terkandung di dalamnya amat dahsyat. Ya, peliharalah kedamaian ini untuk
kesejahteraan kita semua. Kalimat yang diucapkan tokoh legendaris Aceh Hasan
Tiro itu tentu bukan sekadar basa-basi.
Bagaimana tidak dahsyat, dengan
perdamaianlah, kita semua di tanoh Aceh bisa mengaspal jalan sejahtera.
Pembangunan bisa berjalan lancar juga amat ditopang oleh suasana keamanan yang
kondusif. Damai semuanya jadi lancar.
Menjaga perdamaian itu tak cukup cuma
melakukan niat saja, layaknya mengucapkan niat berpuasa. Langkah nyata amat
dibutuhkan untuk melanggengkan perdamaian. Dan, mereka yang layak berada di
depan tak lain dan tak bukan hanyalah pemudi dan pemuda. Sebab, merekalah yang
nanti menjalankan, menggerakkan dan menikmati semua lini kehidupan masa
depan.
Karena itulah, pemuda menjadi kata kunci
dan urat nadi yang menggerakkan, sehingga jantung pembangunan bisa berjalan
lebih baik dan lebih maju di masa mendatang.
Maka dari itu, kuncinya adalah, pemuda
harus berada di depan menjadi pelopor dan motor penggerak roda pembangunan di
Aceh. Banyak cara yang bisa dilakukan pemuda, tentu saja dengan pola yang
positif dan membangun.
Sejatinya pemuda-pemudi Aceh itu kreatif,
kaya ide serta inovatif dan berwawasan global. Dengan begitu, kita akan
mencetak generasi Aceh yang sehat pola pikir terutama dalam mengeja masa depannya
di masa mendatang.
Hal ini pula yang baru-baru ini disuarakan
Gugun Gumilar, mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat, dalam pidatonya di forum
International Young Leaders Assembly di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
New York, AS, Selasa (19/8/2014).
“Pemuda yang kreatif dan inovatif berada
dalam posisi yang lebih baik untuk berkontribusi dalam dialog dan aksi
sosial-politik-ekonomi saat ini, khususnya menyangkut pembangunan perdamaian
dan percepatan proses Millennium Development Goals (MDGs) yang akan berakhir
tahun 2015,” kata Gugun seperti dirilis detikcom,
Kamis (21/8/2014).
Dalam pidato tersebut, dia mengatakan,
pemuda adalah sumber daya potensial yang perlu dilibatkan dalam proses
pembangunan global. Oleh karena itu, dalam merancang dan melaksanakan
kebijakan, para pemimpin politik perlu memberikan ruang kepada pemuda untuk
mengambil peran yang lebih besar.
Dalam konteks keacehan, guna membangun aura
dan energi positif itu, dan mengubah pola pikir generasi Aceh kini dan di masa
depan perlu disemai sebuah doktrin yang bahwa untuk terlibat dalam membangun
Aceh tak mesti harus menjadi pegawai negeri.
Makanya saya pikir, mulai dari sekarang,
selesai sekolah dan kuliah kita berharap generasi Aceh tak lagi bercita-cita
menjadi pemilik salah satu Nomor Induk Periuk alias NIP. Bila semua ingin
mengail NIP, barangkali kita tak akan pernah melihat generasi yang melahirkan
penuh gagasan.
Bukan tidak boleh menjadi PNS, tapi citra mereka
yang terlanjur rusak akibat kita banyak melihat fakta di lapangan. Selain
kerjanya yang tidak becus, kebanyakan di kantoran mereka lebih banyak ngerumpi atau main games. Kendati tidak semua amtenar punya kerja jelek, tapi publik
sudah terlanjur mengukur kinerja mereka.
Padahal hakikat seorang pegawai adalah,
melayani masyarakat dengan ramah plus
senyum renyah. Tak memasang muka masam saat warga ingin berurusan. Hal semacam
itulah yang sepertinya kurang diresapi oleh sebagian besar pegawai negeri kita.
Sepak terjang PNS pun kadung dicap tak baik
dengan pola kerja yang amat monoton dan tak inovatif, dan jauh dari kata kreatif.
Padahal kita ingin melihat pelayan masyarakat itu benar-benar bekerja seperti
melayani, bukan minta dilayani oleh publik.
Ubah midset
Kondisi ini juga berpengaruh pada perilaku
mayoritas masyarakat kita, yang akhirnya berlomba-lomba ingin masuk ke
'kotak" yang sama. Sikap seperti ini yang saya pikir menjadi sedikit aral dalam
upaya membangun Aceh lebih baik. Karena pemuda tidak lagi berpikiran kreatif,
karena hanya menunggu kesempatan kerja dari pemerintah semata.
Apalagi, selama ini masyarakat kita kadung
yakin, bahwa takaran sukses itu dilihat dari lulus tidaknya seseorang menjadi amtenar.
Bila seseorang menjadi amtenar maka sukseslah hidup dia, meski faktanya, banyak
juga PNS yang dililit utang dan menjadi "pialang" dalam konteks
tertentu.
Sementara pada sisi lain cukup banyak pula
orang-orang yang berhasil di bidangnya, namun di kalangan sebagian masyarakat
itu dianggap belum sukses, karena kerjanya bukan awak kantoran yang selalu
berseragam.
Jika mindset
(pola pikir) ini terus hidup di masyarakat, apajadinya generasi kita di
masa depan. Bila begini, tak salah jika akan lahirnya banyak pemuda-pemuda instan
yang tak siap bersaing serta bersanding di dunia global.
Sebab, bukankah persaingan di zaman digital
akan super ketat dan terbuka? Merujuk pada kondisi itu, tentu kita tak ingin
melihat generasi Aceh terjun bebas dalam amukan persaingan global. Apalagi,
jika kemudian, mereka cuma menjadi penonton saja.
Berangkat dari problema itu, KNPI sebagai
komponen penting dalam mengayomi dan mendidik pemuda, hendaknya segera membuka
pintu gerbang pendidikan guna mencetak manusia muda Aceh yang punya potensi dan
berdikari untuk negeri.
Pemuda Aceh harus menjadi inovator
pembangunan kaliber dunia. Mungkin saat ini pemuda kita mustahil bisa menyaingi
Mark Zuckerberg yang membuat Facebook.
Dengan media sosial itu dia lantas menjelma menjadi pemuda terkaya di dunia dengan
asset miliaran dolar.
Dalam tataran lokal tentu kita berharap ada
pemuda Aceh yang punya kreatifitas semacam Mark Zuckerberg guna membuka
lapangan kerja baru. Potensi Aceh yang melimpah, belum tergali dengan baik,
sehingga butuh orang-orang yang inovator untuk membuat Aceh kembali terkenal di
mata dunia.
Untuk itu, jika dulu kita pernah mendengar
ada program sejuta pengusaha, maka kini tak ada salahnya, merakit kembali hal
serupa. Kita mencetak pemuda-pemuda Aceh menjadi pengusaha baru diberbagai bidang,
dengan catatan bukan menjadi kontraktor yang cuma menantikan proyek dari
pemerintah saja.
Pada tataran kekinian, peran yang bisa
diisi KNPI dalam upaya mengajak partisipasi pemuda dan pemudi mendukung
keberhasilan pembangunan di Provinsi dengan salah saru cara membangun bengkel
kreasi. Ini menjadi salah satu pintu untuk ‘menyekolahkan’ pemuda-pemuda kita
dalam membangun kemandirian dari berbagai sektor.
Polanya, KNPI menyeleksi pemuda-pemuda
kreatif di seluruh kabupaten-kota di Aceh. Mereka disaring ketat, dan bagi yang
memenuhi syarat akan mendapat peluang ‘belajar’ ke ibukota provinsi, tentang
berbagai ilmu pengetahuan yang kreatif sesuai dengan skill masing-masing
pemuda.
Di bengkel kreasi, mereka ditempa dengan
berbagai ilmu yang kemudian kita harapkan berguna bagi dia dan masyarakat
sekitar tempat tinggalnya. Sebab, kita ingin mereka (baca: pemuda) menjadi
menjadi tulang punggung bagi setiap
pergerakan perubahan.
Dan tentu saja, kita juga ingin pemuda bisa
menjadi people make history (orang
yang membuat sejarah) di setiap waktunya. Pemuda memang mempunyai posisi
strategis dan istimewa. Secara kualitatif, pemuda lebih kreatif, inovatif,
memiliki idealisme yang murni dan energi besar dalam perubahan sosial.
Oleh sebab itu, mereka juga harus bisa
mengembangkan diri dalam politik, demokratisasi, sumberdaya ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi, olahraga, seni, dan budaya, peduli terhadap
lingkungan hidup, kewirausahaan, kepemimpinan serta menaruh kepedulian terhadap
masyarakat.
Makanya dalam dalam kondisi banyak
permasalahan, pemuda dituntut lebih banyak bergerak dalam membuat perubahan
yang lebih baik, lebih produktif dan lebih kreatif dalam memikirkan ide-ide
perubahan untuk Aceh yang lebih baik.
[a]
EmoticonEmoticon