Senin, 10 Oktober 2016

Pemuda, Impian Untuk Aceh


Ilustrasi

"Memang biaya perang sangat mahal akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah kedamaian ini untuk kesejahteraan kita semua"

SEKILAS potongan kalimat pembuka tulisan ini minim makna. Padalah pesan yang terkandung di dalamnya amat dahsyat. Ya, peliharalah kedamaian ini untuk kesejahteraan kita semua. Kalimat yang diucapkan tokoh legendaris Aceh Hasan Tiro itu tentu bukan sekadar basa-basi.

Bagaimana tidak dahsyat, dengan perdamaianlah, kita semua di tanoh Aceh bisa mengaspal jalan sejahtera. Pembangunan bisa berjalan lancar juga amat ditopang oleh suasana keamanan yang kondusif. Damai semuanya jadi lancar. 


Menjaga perdamaian itu tak cukup cuma melakukan niat saja, layaknya mengucapkan niat berpuasa. Langkah nyata amat dibutuhkan untuk melanggengkan perdamaian. Dan, mereka yang layak berada di depan tak lain dan tak bukan hanyalah pemudi dan pemuda. Sebab, merekalah yang nanti menjalankan, menggerakkan dan menikmati semua lini kehidupan masa depan. 

Karena itulah, pemuda menjadi kata kunci dan urat nadi yang menggerakkan, sehingga jantung pembangunan bisa berjalan lebih baik dan lebih maju di masa mendatang.   

Maka dari itu, kuncinya adalah, pemuda harus berada di depan menjadi pelopor dan motor penggerak roda pembangunan di Aceh. Banyak cara yang bisa dilakukan pemuda, tentu saja dengan pola yang positif dan membangun.

Sejatinya pemuda-pemudi Aceh itu kreatif, kaya ide serta inovatif dan berwawasan global. Dengan begitu, kita akan mencetak generasi Aceh yang sehat pola pikir terutama dalam mengeja masa depannya di masa mendatang.

Hal ini pula yang baru-baru ini disuarakan Gugun Gumilar, mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat, dalam pidatonya di forum International Young Leaders Assembly di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, AS, Selasa (19/8/2014).

“Pemuda yang kreatif dan inovatif berada dalam posisi yang lebih baik untuk berkontribusi dalam dialog dan aksi sosial-politik-ekonomi saat ini, khususnya menyangkut pembangunan perdamaian dan percepatan proses Millennium Development Goals (MDGs) yang akan berakhir tahun 2015,” kata Gugun seperti dirilis detikcom, Kamis (21/8/2014).

Dalam pidato tersebut, dia mengatakan, pemuda adalah sumber daya potensial yang perlu dilibatkan dalam proses pembangunan global. Oleh karena itu, dalam merancang dan melaksanakan kebijakan, para pemimpin politik perlu memberikan ruang kepada pemuda untuk mengambil peran yang lebih besar.

Dalam konteks keacehan, guna membangun aura dan energi positif itu, dan mengubah pola pikir generasi Aceh kini dan di masa depan perlu disemai sebuah doktrin yang bahwa untuk terlibat dalam membangun Aceh tak mesti harus menjadi pegawai negeri.

Makanya saya pikir, mulai dari sekarang, selesai sekolah dan kuliah kita berharap generasi Aceh tak lagi bercita-cita menjadi pemilik salah satu Nomor Induk Periuk alias NIP. Bila semua ingin mengail NIP, barangkali kita tak akan pernah melihat generasi yang melahirkan penuh gagasan. 

Bukan tidak boleh menjadi PNS, tapi citra mereka yang terlanjur rusak akibat kita banyak melihat fakta di lapangan. Selain kerjanya yang tidak becus, kebanyakan di kantoran mereka lebih banyak ngerumpi atau main games. Kendati tidak semua amtenar punya kerja jelek, tapi publik sudah terlanjur mengukur kinerja mereka.

Padahal hakikat seorang pegawai adalah, melayani masyarakat dengan ramah plus senyum renyah. Tak memasang muka masam saat warga ingin berurusan. Hal semacam itulah yang sepertinya kurang diresapi oleh sebagian besar pegawai negeri kita.

Sepak terjang PNS pun kadung dicap tak baik dengan pola kerja yang amat monoton dan tak inovatif, dan jauh dari kata kreatif. Padahal kita ingin melihat pelayan masyarakat itu benar-benar bekerja seperti melayani, bukan minta dilayani oleh publik.

Ubah midset

Kondisi ini juga berpengaruh pada perilaku mayoritas masyarakat kita, yang akhirnya berlomba-lomba ingin masuk ke 'kotak" yang sama. Sikap seperti ini yang saya pikir menjadi sedikit aral dalam upaya membangun Aceh lebih baik. Karena pemuda tidak lagi berpikiran kreatif, karena hanya menunggu kesempatan kerja dari pemerintah semata.

Apalagi, selama ini masyarakat kita kadung yakin, bahwa takaran sukses itu dilihat dari lulus tidaknya seseorang menjadi amtenar. Bila seseorang menjadi amtenar maka sukseslah hidup dia, meski faktanya, banyak juga PNS yang dililit utang dan menjadi "pialang" dalam konteks tertentu.

Sementara pada sisi lain cukup banyak pula orang-orang yang berhasil di bidangnya, namun di kalangan sebagian masyarakat itu dianggap belum sukses, karena kerjanya bukan awak kantoran yang selalu berseragam.

Jika mindset (pola pikir) ini terus hidup di masyarakat, apajadinya generasi kita di masa depan. Bila begini, tak salah jika akan lahirnya banyak pemuda-pemuda instan yang tak siap bersaing serta bersanding di dunia global.

Sebab, bukankah persaingan di zaman digital akan super ketat dan terbuka? Merujuk pada kondisi itu, tentu kita tak ingin melihat generasi Aceh terjun bebas dalam amukan persaingan global. Apalagi, jika kemudian, mereka cuma menjadi penonton saja.

Berangkat dari problema itu, KNPI sebagai komponen penting dalam mengayomi dan mendidik pemuda, hendaknya segera membuka pintu gerbang pendidikan guna mencetak manusia muda Aceh yang punya potensi dan berdikari untuk negeri.

Pemuda Aceh harus menjadi inovator pembangunan kaliber dunia. Mungkin saat ini pemuda kita mustahil bisa menyaingi Mark Zuckerberg yang membuat Facebook. Dengan media sosial itu dia lantas menjelma menjadi pemuda terkaya di dunia dengan asset miliaran dolar.

Dalam tataran lokal tentu kita berharap ada pemuda Aceh yang punya kreatifitas semacam Mark Zuckerberg guna membuka lapangan kerja baru. Potensi Aceh yang melimpah, belum tergali dengan baik, sehingga butuh orang-orang yang inovator untuk membuat Aceh kembali terkenal di mata dunia.

Untuk itu, jika dulu kita pernah mendengar ada program sejuta pengusaha, maka kini tak ada salahnya, merakit kembali hal serupa. Kita mencetak pemuda-pemuda Aceh menjadi pengusaha baru diberbagai bidang, dengan catatan bukan menjadi kontraktor yang cuma menantikan proyek dari pemerintah saja.

Pada tataran kekinian, peran yang bisa diisi KNPI dalam upaya mengajak partisipasi pemuda dan pemudi mendukung keberhasilan pembangunan di Provinsi dengan salah saru cara membangun bengkel kreasi. Ini menjadi salah satu pintu untuk ‘menyekolahkan’ pemuda-pemuda kita dalam membangun kemandirian dari berbagai sektor.

Polanya, KNPI menyeleksi pemuda-pemuda kreatif di seluruh kabupaten-kota di Aceh. Mereka disaring ketat, dan bagi yang memenuhi syarat akan mendapat peluang ‘belajar’ ke ibukota provinsi, tentang berbagai ilmu pengetahuan yang kreatif sesuai dengan skill masing-masing pemuda.

Di bengkel kreasi, mereka ditempa dengan berbagai ilmu yang kemudian kita harapkan berguna bagi dia dan masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Sebab, kita ingin mereka (baca: pemuda) menjadi
menjadi tulang punggung bagi setiap pergerakan perubahan.

Dan tentu saja, kita juga ingin pemuda bisa menjadi people make history (orang yang membuat sejarah) di setiap waktunya. Pemuda memang mempunyai posisi strategis dan istimewa. Secara kualitatif, pemuda lebih kreatif, inovatif, memiliki idealisme yang murni dan energi besar dalam perubahan sosial.

Oleh sebab itu, mereka juga harus bisa mengembangkan diri dalam politik, demokratisasi, sumberdaya ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, olahraga, seni, dan budaya, peduli terhadap lingkungan hidup, kewirausahaan, kepemimpinan serta menaruh kepedulian terhadap masyarakat.

Makanya dalam dalam kondisi banyak permasalahan, pemuda dituntut lebih banyak bergerak dalam membuat perubahan yang lebih baik, lebih produktif dan lebih kreatif dalam memikirkan ide-ide perubahan untuk  Aceh yang lebih baik. [a]


EmoticonEmoticon