UJUNG pekan kemarin, pecinta sepak
bola di Aceh, khususnya Banda Aceh mendapat suguhan hiburan menarik dari
lapangan hijau. Ada dua kompetisi berbeda yang mentas di Stadion Harapan Bangsa
dan satu kompetisi kasta kedua di Stadion H Dimurthala.
Kedua
kompetisi itu adalah Liga Prima Indonesia (Indonesian Premier League) dan Liga
Super Indonesia (Indonesian Super League). Di IPL, Persiraja Banda Aceh tampil
menghadang Bontang FC di Jumat (16/12/2011) dan pada Minggu (18/12/2011) tim
Divisi Utama PSSB Bireuen tampil melawan PSBL Langsa di Stadion H Dimurthala.
Sejatinya
ada satu laga yang dihelat pada Stadion Harapan Bangsa yakni antara PSAP Sigli dengan
PSMS Medan pada Sabtu (17/12/2011). Tapi sayangnya, laga big macth antara Sigli dan Medan dibatalkan oleh PT Liga Indonesia
sebagai penyelenggara kompetisi. Dan, keduanya akan melakoni laga tunda pada
Februari mendatang.
Praktis,
ketiga laga ini akan memanjakan publik sepakbola yang selama ini memang
menggandrungi permainan 90 menit itu. Khusus di kancah Divisi Utama, kubu Bate
Kureng—julukan PSSB bermaterikan pemain belia Aceh hasil didikan tiga tahun di
Paraguay.
Tentu
saja pertandingan ini akan menyedot perhatian banyak orang. Jika tak sempat
melihat langsung, tentu berharap informasi dari orang yang berada di tribun.
Atau bahkan berharap kabar dari radio, membaca media online serta media cetak
pada esok harinya.
Sajian
infomasi sepak bola tentu akan menjadi santapan favorit banyak pembaca media
cetak, terutama di Aceh. Bicara sepak bola, semua orang seakan menjadi lebih
jago dari pengamat dan lebih lihai dalam peracik stategi di pinggir lapangan. Ini
memang lazim terjadi di belahan dunia, termasuk Aceh.
Mungkin
dalam konteks Aceh ada sedikit catatan. Menyinggung masalah ini, saya mengutip ungkapan
mantan Gubernur Aceh almarhum Ibrahim Hasan. Katanya, “kalau ingin tahu
bagaimana karakter orang Aceh, lihatlah saat mereka main (menonton) bola dan
seudati”.
Sedikit
tambahan, khusus untuk kata yang dalam tanda kurung bukan disebutkan mantan
Menteri Negara Urusan Pangan itu. Sebab, menonton itulah yang kini menjadi
menarik. Bisa kita lihat, sekarang orang banyak menonton dan tak lagi main
seudati.
Main
bola dan seudati memang dua permainan yang berbeda. Namun, pesan yang hendak
disampaikan Ibrahim Hasan tak lain bahwa, saat bermain bola, orang Aceh itu
keras dan pantang menyerah.
Lantas
kenapa tamsilan lewat Seudati? Tari Seudati, sebuah tarian khas Aceh yang sudah
dikenal sejak masa raja-raja. Tarian ini berbeda dengan yang lain, sebab
gerakannya berupa loncatan, gerak tangan, petik jari (keutep jaroe) dan menepuk dada dengan iringan pantun atau syair.
Gerakan keutep
jaroe dan menepuk dada dipahami sebagai simbol kekuatan dan kesombongan
sebagai lelaki. Atas alasan itulah barangkali Ibrahim Hasan melempar
interpretasi lewat bola dan seudati. Karena pada dasarnya, bola dan seudati
adalah dua objek yang paling digemari di Aceh. Dari dulu hingga kini.
Lalu, kenapa menonton bukan bermain? Bermain (playing) dan menonton adalah dua kata
yang berbeda. Jika bermain bisa berdenotasi aktif, maka sebaliknya, menonton
pun tak selamanya pasif. Sejatinya penonton (supporter) itu tak harus terlalu hiperaktif. Cuma pendukung yang
saya pikir sedikit akan lebih agresif.
Dalam konteks ini sudah jelas beda kelas antara
penonton dan pendukung, apalagai dalam Koloseum —stadion zaman Romawi kuno—
sepakbola Aceh. Koloseum sepakbola kita biasa diiringi dengan lempar pukulan
antar pemain, saling terjang bak film kungfu dan lainnya.
Kasus ‘pembunuhan’ mental pemain muda Aceh jebolah
Paraguay pada Minggu 12 November 2011 kemarin adalah contoh buruk koloseum
sepakbola kita. Uji mental agar karakter Aceh kuat dalam bertanding sah-sah
saja. Tapi bukan dengan lemparan botol, sebab itu tak ‘mendidik’ dan manusiawi.
Kendati pelemparan botol air mineral, dianggap
sah-sah saja oleh sebagian kalangan. Tapi menjadi tak lazim jika dilihat dari
objek yang menjadi sasaran. Aksi purba itu sebenarnya bukan cuma diterima para
pemain muda Aceh. Mereka yang berkompetisi di level senior seperti di
Persiraja, PSAP, PSSB dan tim-tim lainnya, sudah biasa menjadi sasaran nan
empuk. Meski itu berbeda kasus dan tendensius.
‘Teror’ botol seumpama insiden
Harapan Bangsa di ujung pekan itu, bisa saja merusak mental pemain yang belum terbiasa
dan tampil kompetitif. Harapan agar mereka bisa langsung terbang tinggi, sesuatu
yang mustahil. Pemain senior saja bisa gugup juga saat melakoni laga perdana, konon lagi disaksikan
puluhan ribu penonton.
Apalagi jika ditambah dengan fisik yang masih lelah.
Maka, melawan kelelahan saja sudah menguras stamina. Konon lagi ditimpuki
dengan botol dan hujatan yang tak mendidik serta di luar kepatutan bin
kesantunan.
Pada kategori ini, saya makin menguatkan tafsir,
bahwa sepakbola Aceh butuh pendukung—terutama pendukung fanatik—bukan penonton.
Selama ini banyak penonton, tapi sedikit pendukung. Sehingga fanatismenya cuma
setipis karcis.
Ini terbukti siapa yang bermain apik dia yang
‘ditarik’ (baca: dielu-elukan), mereka yang ‘berani’ tampil jelek, maka
siap-siaplah diejek. Dan menjadi Aceh, eh aneh maksud saya, ketika lemparan
botol bisa berubah menjadi ‘lemparan’ tepukan, saat tim yang sebelumnya dibenci
memberi kemenangan.
Ini adalah sebuah sikap yang egois sekaligus sulit
dipahami. Sebab dalam sepakbola, hasil akhir tak selamanya sesuai dengan
prediksi. Tim yang bermain bagus, terkadang harus menelan kekalahan. Kalah dan
menang memang harus diterima dengan akal sehat.
Penonton yang baik adalah pendukung yang akan tetap
setia memberikan dukungan diberbagai kondisi tim yang mereka sokong. Kekalahan
tidak membuat para pendukung menghujat berbagai kesalahan mereka di lapangan
hijau. Pendukung seperti inilah yang diharapkan mampu membangkitkan semangat
tim yang telah melemah akibat dampak tekanan mental kekalahan. Di sinilah
fungsi pemain ke-12 dalam sebuah koloseum.
Namun yang dipahami penonton di Banda Aceh, yang
menjadi representasi Aceh, sebaliknya. Siap menang tak terima kalah. Semua kita
tahu, tak ada klub (tim) di dunia ini yang selalu menuai kemenangan tanpa
menelan kekalahan.
Akan lain lagi bagi pendukung sejati. Dia senantiasa
siap dalam berbagai kondisi. Kalah memang patut disesali demi perbaikan, menang
patut disyukuri. Bukannya, kalah dicaki maki, menang dipuja-puji. Dan itu yang
terjadi selama ini. Hanya saat menang baru kemudian muncul banyak sanjungan dan
ungkapan narsisme; jih aneuk kumuen lon
(dia keponakanku), yang peulob nyan aneuk
cek lon (yang cetak gol itu anak pamanku) dan lain-lain. Kala kalah
penonton pun menjadi apatis. Sebuah sikap yang jauh dari kata sportif.
Olahraga
populer
Semua orang akan sepakat mengamini, sepakbola adalah
olahraga paling digemari penduduk bumi. Begitu pula di Aceh. Sepakbola menjadi icon dan digandrungi mulai dari balita
sampai yang sudah berusia senja. Mungkin atas dasar itulah, sehingga hampir
semua pemimpin Aceh (baca: gubernur) ikut ‘melestarikan’ dan memberi dukungan
kepada permainan 90 menit ini.
Sejumlah gubernur di Aceh pada masa pemerintahannya
berandil besar dalam sepakbola, meski kadarnya berbeda-beda. Yang paling
monumental tentu saja sosok Syamsuddin Mahmud. Pakar moneter inilah yang
menghadirkan sebuah stadion kebanggaan bagi rakyat Aceh.
Di masa inilah, dia mencetus sebuah stadion
termegah. Itulah Stadion Harapan Bangsa, milik Pemerintah Aceh. Meski pada akhirnya stadion plat merah ini
diplesetkan sebagai stadion tak sesuai harapan. Disebut begitu, karena
penontonnya kepanasan saat matahari terik dan kebasahan kala hujan. Tribun
megah cuma menjadi pajangan semata.
Bicara stadion, tentu saja banyak pro kontra
mengemuka, termasuk tribun-tribunnya yang acap dirutuki sepanjang waktu.
Kendati stadion itu tak seusai harapan, setidaknya masih memberi sedikit
kebanggaan, kendati itu semu; megah tapi bikin gerah.
Lalu gubernur sekarang, Irwandi Yusuf juga mengikuti
jejak senior-seniornya. Dia tidak menyentuh fisik, tapi pengembangan sumber
daya manusianya. Dan yang teranyar tentu saja program belajar sepakbola ke
Paraguay. Ke 30 atlet muda sudah selesai belajar tiga tahun di Negara Amerika
Selatan itu.
Program ini disambut pro kontra banyak kalangan. Dan
itu sudah semacam kerupuk saat kita makan mi. Lalu muncul asumsi lain dengan
kecurigaan bertensi tinggi. Makanya tak heran, jika kemudian mencelat tanya,
mengapa mesti mengirim tim ke Paraguay, kenapa tidak pelatih asing saja yang
diboyong ke Aceh.
Belum usai itu, muncul lagi pertanyaan lain. Kali
ini seputar materi pemain yang dikirim.
Selalu saja ada sinyal miris yang menuding. Di antara 30 pemain yang
dikirim ke Paraguay itu, ada pemain ‘titipan’ milik oknum pejabat. Dan banyak
lagi aura negatif yang kalau diulas seakan tak pernah habis.
Kemudian, ada lagi yang membisik aroma korupsi dan
kolusi. Apalagi program Paraguay itu menguras anggaran rakyat. Ada yang menyebutkan Rp27 Miliar, ada pula
yang mengaku Rp 33 Miliar. Saya tak ingin berprangka sebelum semua terbukti,
apalagi amisnya belum tercium.
Terlepas dari ‘bau-bauan’, harapan sukses yang
dituntut masyarakat kepada alumni Paraguay juga—sebenarnya— kelewat tinggi.
Padahal prestasi itu tidak datang instan (seketika) semisal memungut bola
keluar lapangan. Sebagai contoh, untuk menjadi juara perserikatan pada 1981,
Persiraja butuh waktu lama. Katanya sembilan tahun. Itu pun dengan tim yang
aktif terjun diberbagai turnamen dan kompetisi.
Contoh lain, kita lihat saja Spanyol. Negeri Matador
ini harus menanti 44 tahun untuk kembali menjadi Juara Eropa dan kemudian
menguasai dunia. Makanya menjadi aneh ketika publik langsung menuntut prestasi tinggi
kepada para pemain belia yang masih berusia 18 tahun.
Memang kita akui, sepakbola Aceh sudah lama kering
prestasi di berbagai level. Hanya musim lalu, dahaga itu sedikit terobati
setelah Persiraja Banda Aceh menjadi runner-up
Divisi Utama Liga Indonesia. Itu pun gengsinya dinilai kurang dahsyat, karena
berada di kompetisi level kedua.
Sementara tuntutan para penonton dan pendukung, baik
di Harapan Bangsa maupun di Stadion H Dimurthala, lebih dari itu. Tak masalah,
kita terus ‘berteriak’ dengan keras berharap prestasi sepakbola Aceh. Tapi
jangan hanya sekali keutep jaroe.
Penulis adalah
Sekretaris Warta FC Banda Aceh
EmoticonEmoticon