Selasa, 11 Oktober 2016

Menonton Aceh

Foto atjehfootball.blogspot.com
UJUNG pekan kemarin, pecinta sepak bola di Aceh, khususnya Banda Aceh mendapat suguhan hiburan menarik dari lapangan hijau. Ada dua kompetisi berbeda yang mentas di Stadion Harapan Bangsa dan satu kompetisi kasta kedua di Stadion H Dimurthala.

Kedua kompetisi itu adalah Liga Prima Indonesia (Indonesian Premier League) dan Liga Super Indonesia (Indonesian Super League). Di IPL, Persiraja Banda Aceh tampil menghadang Bontang FC di Jumat (16/12/2011) dan pada Minggu (18/12/2011) tim Divisi Utama PSSB Bireuen tampil melawan PSBL Langsa di Stadion H Dimurthala.

Sejatinya ada satu laga yang dihelat pada Stadion Harapan Bangsa yakni antara PSAP Sigli dengan PSMS Medan pada Sabtu (17/12/2011). Tapi sayangnya, laga big macth antara Sigli dan Medan dibatalkan oleh PT Liga Indonesia sebagai penyelenggara kompetisi. Dan, keduanya akan melakoni laga tunda pada Februari mendatang.

Praktis, ketiga laga ini akan memanjakan publik sepakbola yang selama ini memang menggandrungi permainan 90 menit itu. Khusus di kancah Divisi Utama, kubu Bate Kureng—julukan PSSB bermaterikan pemain belia Aceh hasil didikan tiga tahun di Paraguay.

Tentu saja pertandingan ini akan menyedot perhatian banyak orang. Jika tak sempat melihat langsung, tentu berharap informasi dari orang yang berada di tribun. Atau bahkan berharap kabar dari radio, membaca media online serta media cetak pada esok harinya.  

Sajian infomasi sepak bola tentu akan menjadi santapan favorit banyak pembaca media cetak, terutama di Aceh. Bicara sepak bola, semua orang seakan menjadi lebih jago dari pengamat dan lebih lihai dalam peracik stategi di pinggir lapangan. Ini memang lazim terjadi di belahan dunia, termasuk Aceh.

Mungkin dalam konteks Aceh ada sedikit catatan. Menyinggung masalah ini, saya mengutip ungkapan mantan Gubernur Aceh almarhum Ibrahim Hasan. Katanya, “kalau ingin tahu bagaimana karakter orang Aceh, lihatlah saat mereka main (menonton) bola dan seudati”.

Sedikit tambahan, khusus untuk kata yang dalam tanda kurung bukan disebutkan mantan Menteri Negara Urusan Pangan itu. Sebab, menonton itulah yang kini menjadi menarik. Bisa kita lihat, sekarang orang banyak menonton dan tak lagi main seudati.  

Main bola dan seudati memang dua permainan yang berbeda. Namun, pesan yang hendak disampaikan Ibrahim Hasan tak lain bahwa, saat bermain bola, orang Aceh itu keras dan pantang menyerah.

Lantas kenapa tamsilan lewat Seudati? Tari Seudati, sebuah tarian khas Aceh yang sudah dikenal sejak masa raja-raja. Tarian ini berbeda dengan yang lain, sebab gerakannya berupa loncatan, gerak tangan, petik jari (keutep jaroe) dan menepuk dada dengan iringan pantun atau syair.
 
Gerakan keutep jaroe dan menepuk dada dipahami sebagai simbol kekuatan dan kesombongan sebagai lelaki. Atas alasan itulah barangkali Ibrahim Hasan melempar interpretasi lewat bola dan seudati. Karena pada dasarnya, bola dan seudati adalah dua objek yang paling digemari di Aceh. Dari dulu hingga kini.
Lalu, kenapa menonton bukan bermain? Bermain (playing) dan menonton adalah dua kata yang berbeda. Jika bermain bisa berdenotasi aktif, maka sebaliknya, menonton pun tak selamanya pasif. Sejatinya penonton (supporter) itu tak harus terlalu hiperaktif. Cuma pendukung yang saya pikir sedikit akan lebih agresif.
Dalam konteks ini sudah jelas beda kelas antara penonton dan pendukung, apalagai dalam Koloseum —stadion zaman Romawi kuno— sepakbola Aceh. Koloseum sepakbola kita biasa diiringi dengan lempar pukulan antar pemain, saling terjang bak film kungfu dan lainnya.
Kasus ‘pembunuhan’ mental pemain muda Aceh jebolah Paraguay pada Minggu 12 November 2011 kemarin adalah contoh buruk koloseum sepakbola kita. Uji mental agar karakter Aceh kuat dalam bertanding sah-sah saja. Tapi bukan dengan lemparan botol, sebab itu tak ‘mendidik’ dan manusiawi.
Kendati pelemparan botol air mineral, dianggap sah-sah saja oleh sebagian kalangan. Tapi menjadi tak lazim jika dilihat dari objek yang menjadi sasaran. Aksi purba itu sebenarnya bukan cuma diterima para pemain muda Aceh. Mereka yang berkompetisi di level senior seperti di Persiraja, PSAP, PSSB dan tim-tim lainnya, sudah biasa menjadi sasaran nan empuk. Meski itu berbeda kasus dan tendensius.
            ‘Teror’ botol seumpama insiden Harapan Bangsa di ujung pekan itu, bisa saja merusak mental pemain yang belum terbiasa dan tampil kompetitif. Harapan agar mereka bisa langsung terbang tinggi, sesuatu yang mustahil. Pemain senior saja bisa gugup juga  saat melakoni laga perdana, konon lagi disaksikan puluhan ribu penonton.
Apalagi jika ditambah dengan fisik yang masih lelah. Maka, melawan kelelahan saja sudah menguras stamina. Konon lagi ditimpuki dengan botol dan hujatan yang tak mendidik serta di luar kepatutan bin kesantunan.
Pada kategori ini, saya makin menguatkan tafsir, bahwa sepakbola Aceh butuh pendukung—terutama pendukung fanatik—bukan penonton. Selama ini banyak penonton, tapi sedikit pendukung. Sehingga fanatismenya cuma setipis karcis.
Ini terbukti siapa yang bermain apik dia yang ‘ditarik’ (baca: dielu-elukan), mereka yang ‘berani’ tampil jelek, maka siap-siaplah diejek. Dan menjadi Aceh, eh aneh maksud saya, ketika lemparan botol bisa berubah menjadi ‘lemparan’ tepukan, saat tim yang sebelumnya dibenci memberi kemenangan.
Ini adalah sebuah sikap yang egois sekaligus sulit dipahami. Sebab dalam sepakbola, hasil akhir tak selamanya sesuai dengan prediksi. Tim yang bermain bagus, terkadang harus menelan kekalahan. Kalah dan menang memang harus diterima dengan akal sehat. 

Penonton yang baik adalah pendukung yang akan tetap setia memberikan dukungan diberbagai kondisi tim yang mereka sokong. Kekalahan tidak membuat para pendukung menghujat berbagai kesalahan mereka di lapangan hijau. Pendukung seperti inilah yang diharapkan mampu membangkitkan semangat tim yang telah melemah akibat dampak tekanan mental kekalahan. Di sinilah fungsi pemain ke-12 dalam sebuah koloseum.
Namun yang dipahami penonton di Banda Aceh, yang menjadi representasi Aceh, sebaliknya. Siap menang tak terima kalah. Semua kita tahu, tak ada klub (tim) di dunia ini yang selalu menuai kemenangan tanpa menelan kekalahan.
Akan lain lagi bagi pendukung sejati. Dia senantiasa siap dalam berbagai kondisi. Kalah memang patut disesali demi perbaikan, menang patut disyukuri. Bukannya, kalah dicaki maki, menang dipuja-puji. Dan itu yang terjadi selama ini. Hanya saat menang baru kemudian muncul banyak sanjungan dan ungkapan narsisme; jih aneuk kumuen lon (dia keponakanku), yang peulob nyan aneuk cek lon (yang cetak gol itu anak pamanku) dan lain-lain. Kala kalah penonton pun menjadi apatis. Sebuah sikap yang jauh dari kata sportif. 

Olahraga populer
Semua orang akan sepakat mengamini, sepakbola adalah olahraga paling digemari penduduk bumi. Begitu pula di Aceh. Sepakbola menjadi icon dan digandrungi mulai dari balita sampai yang sudah berusia senja. Mungkin atas dasar itulah, sehingga hampir semua pemimpin Aceh (baca: gubernur) ikut ‘melestarikan’ dan memberi dukungan kepada permainan 90 menit ini.
Sejumlah gubernur di Aceh pada masa pemerintahannya berandil besar dalam sepakbola, meski kadarnya berbeda-beda. Yang paling monumental tentu saja sosok Syamsuddin Mahmud. Pakar moneter inilah yang menghadirkan sebuah stadion kebanggaan bagi rakyat Aceh.
Di masa inilah, dia mencetus sebuah stadion termegah. Itulah Stadion Harapan Bangsa, milik Pemerintah Aceh.  Meski pada akhirnya stadion plat merah ini diplesetkan sebagai stadion tak sesuai harapan. Disebut begitu, karena penontonnya kepanasan saat matahari terik dan kebasahan kala hujan. Tribun megah cuma menjadi pajangan semata. 
Bicara stadion, tentu saja banyak pro kontra mengemuka, termasuk tribun-tribunnya yang acap dirutuki sepanjang waktu. Kendati stadion itu tak seusai harapan, setidaknya masih memberi sedikit kebanggaan, kendati itu semu; megah tapi bikin gerah.
Lalu gubernur sekarang, Irwandi Yusuf juga mengikuti jejak senior-seniornya. Dia tidak menyentuh fisik, tapi pengembangan sumber daya manusianya. Dan yang teranyar tentu saja program belajar sepakbola ke Paraguay. Ke 30 atlet muda sudah selesai belajar tiga tahun di Negara Amerika Selatan itu.
Program ini disambut pro kontra banyak kalangan. Dan itu sudah semacam kerupuk saat kita makan mi. Lalu muncul asumsi lain dengan kecurigaan bertensi tinggi. Makanya tak heran, jika kemudian mencelat tanya, mengapa mesti mengirim tim ke Paraguay, kenapa tidak pelatih asing saja yang diboyong ke Aceh.
Belum usai itu, muncul lagi pertanyaan lain. Kali ini seputar materi pemain yang dikirim.  Selalu saja ada sinyal miris yang menuding. Di antara 30 pemain yang dikirim ke Paraguay itu, ada pemain ‘titipan’ milik oknum pejabat. Dan banyak lagi aura negatif yang kalau diulas seakan tak pernah habis.
Kemudian, ada lagi yang membisik aroma korupsi dan kolusi. Apalagi program Paraguay itu menguras anggaran rakyat.  Ada yang menyebutkan Rp27 Miliar, ada pula yang mengaku Rp 33 Miliar. Saya tak ingin berprangka sebelum semua terbukti, apalagi amisnya belum tercium. 
Terlepas dari ‘bau-bauan’, harapan sukses yang dituntut masyarakat kepada alumni Paraguay juga—sebenarnya— kelewat tinggi. Padahal prestasi itu tidak datang instan (seketika) semisal memungut bola keluar lapangan. Sebagai contoh, untuk menjadi juara perserikatan pada 1981, Persiraja butuh waktu lama. Katanya sembilan tahun. Itu pun dengan tim yang aktif terjun diberbagai turnamen dan kompetisi.
Contoh lain, kita lihat saja Spanyol. Negeri Matador ini harus menanti 44 tahun untuk kembali menjadi Juara Eropa dan kemudian menguasai dunia. Makanya menjadi aneh ketika publik langsung menuntut prestasi tinggi kepada para pemain belia yang masih berusia 18 tahun.
Memang kita akui, sepakbola Aceh sudah lama kering prestasi di berbagai level. Hanya musim lalu, dahaga itu sedikit terobati setelah Persiraja Banda Aceh menjadi runner-up Divisi Utama Liga Indonesia. Itu pun gengsinya dinilai kurang dahsyat, karena berada di kompetisi level kedua.
Sementara tuntutan para penonton dan pendukung, baik di Harapan Bangsa maupun di Stadion H Dimurthala, lebih dari itu. Tak masalah, kita terus ‘berteriak’ dengan keras berharap prestasi sepakbola Aceh. Tapi jangan hanya sekali keutep jaroe.

Penulis adalah Sekretaris Warta FC Banda Aceh 


EmoticonEmoticon